Overseas call itu menghantarkan selarik suara sedikit sengau berbau bariton, dengan logat melayu. Suara yang merambat dari separuh bumi, melesat melalui satelit, merayap di kelenjar kabel telepon rumahku.Suaranya mengalirkan rasa aneh ke dalam dadaku, berdesir rapi namun berpotensi meluap. Rasa yang sulit kunamai, namun eksistensinya terasa. Ini tentangmu. Ketika pertama kali kau menelponku dari belahan bumi yang lain.
Imagimu memenuhi udara pagi hingga petangku, selama dua tahun itu. Itulah waktumu ketika kau terasing di sebuah negara yang matahari hanya tampil beberapa jam saja. Menjadi minoritas adalah sebuah siksaan, hingga kau perlu membunuh waktu dengan mencari seseorang yang sanggup meladenimu bersilat kata. Kita harus berterimakasih kepada teknologi yang menjadikan semua itu mungkin. Kau mendapatiku sebagai lawan tangguh dalam banyak hal, kita membahas gosip selebriti, para koruptor, reformis palsu, bahkan hal-hal cabul yang membuat kita tergelak bersama dan kata LOL berkali-kali meluncur di layar monitor.
Hingga waktu yang kutunggu itu : kepulanganmu. Kembali ke tanah air, adalah mimpi panjangmu yang tertunaikan dan aku menunggumu berkabar. Tetapi, waktu yang tinggal beberapa minggu itu berubah menjadi sesuatu yang menyebalkan. Kau menyublim. Kadang aku berpikir, antara kita seharusnya terikat tali tak kasat mata yang jauh. Sebuah ikatan yang layak ditandai oleh telepon yang mengabarkan jadwal kepulanganmu, meski bukan di kotaku.
Kemudian berbulan-bulan aku menemukan diriku terkapar oleh rasa marah. Gundah yang menyadari kau hanyalah dua jam penerbangan dariku, tetapi amboy, terasa benar jauhnya.Mendadak aku benci diri sendiri, menyadari kekhilafanku. Ya, bersetia padamu beberapa tahun tanpa wujud nyata itu khilaf. Mungkin kata bodoh terlalu sopan untuk menembak diriku sendiri.
***
Januari adalah bulan yang menawarkan banyak puisi.Beberapa bait pernah kau tulis tentang hujan dan salju yang kau gambarkan sebagai jutaan jarum langit. Kau bukan seniman atau penyair, namun kau dapat menggambarkan saat-saat kesepianmu di kota asing itu dengan baik. Mungkinkah ini salah satu alasan kekagumanku padamu, bagaimana bahasa begitu indah di jemarimu, sementara sekolahmu adalah teknologi.?
Aku ingin menikmati sore di kotamu, dengan secangkir kopi dan suara hujan. Sebuah pesan pendek tanpa nama menjabani ponselku. Meskipun bgitu, aku tahu itu kau. Ah, betapa cinta selalu memiliki mata ketiga. Duniaku berubah seketika. Hariku yang semula tenang dan datar mendadak sontak bergelombang dan riuh.
Disinilah kita. Delapan tahun sejak kau kenal namaku pertama dulu. Menghirup kopi dan saling menatap penuh gejolak. Wajahmu persis sama seperti dalam foto-fotomu, hanya sedikit uban membedakannya. Kini sepasang matamu nan pekat itu dapat kunikmati dengan mata telanjang, pun bibirmu yang beraroma madu. Kubiarkan kau banyak bicara agar dapat kulahap seluruhmu. Kau tumpahkan hal-hal yang tertunda sekian lama, seolah semalam tak pernah cukup, dan memang tak pernah. Kita berbincang hingga pagi, tertawa lepas untuk hal-hal sederhana tidak penting. Bahkan seorang cerdik pandai sepertimu pun butuh menjadi manusia biasa, yang terlihat norak di depan perempuan.
Hanya semalam. Begitulah rupanya, keindahan selalu terasa singkat. Sungguh tak sepadan dengan penantianku yang begitu lama. Pergimu meninggalkan rasa sakit di tubuhku, meski kau tak menyentuhku.Di akhir perjuampaan kita, kau menyitir sepenggal puisi Dante yang termashur: ingatlah malam ini, karena ini adalah awal dari selamanya.
Meski kita kembali terhubungdengan berbagai media canggih dalam genggaman masing-masing, hubungan kita kembali maya. Kau kembali menikmati duniamu, aku dengan duniaku. Sesekali suaramu menyapaku, seperlunya. Dan aku bertahan. Agak menakjubkan bahwa aku tetap menyimpan namamu dengan baik, mematri wajahmu tanpa cela, didalam bilikkku paling rahasia. Kurasa tak perlu berlaku bodoh dengan berpura-pura tidak merasakan sesuatu.
Sesekali kau mengejutkanku, dengan membaurkan jadwal kita diantara jadwal seminarmu, atau kuliah umum yang sengaja kau pilih di kotaku. Kita berlama-lama di kedai kopi sudut kota, tempat yang sama ketika pertama kali kau mengunjungi kota ini. Kau pun tidak melakukan sesuatu terhadapku, hanya berbicara dan menyecap sesuatu. Namun sesekali kau mencuri tatap ke dalam mataku, yang efeknya sangat terasa bagiku: dadaku terserang halilintar.
Terima kasih untuk kesetiaanmu selama 14 tahun ini. Katamu kemudian. Memangnya kau tahu aku setia padamu?Kau tidak tahu bagaimana saat-saat tertentu aku begitu membencimu. Kemudian meletakkan karaktermu sebagai pembunuh dalam karyaku, atau membuat namamu sebagai laki-laki bajingan yang mengencani pelacur jalanan dalam sebuah cerita.Saat itulah aku merasa pembalasan dendamku padamu setimpal.
Sore bermandikan hujan mengantarmu kembali ke bandara, masih di bulan Januari. Sehari bersamamu selalu tak pernah cukup, kau seperti air laut, makin banyak kusesap, makin haus aku.
Biarkan saja begini, Katamu, Biarkan hal-hal sederhana terjadi, tanpa rencana, menikmati apa yang bisa dinikmati, melupakan hal-hal yang bisa dilupakan, tak pernah menyesali hal-hal yang terjadi
Mungkin memang harus begitu, hanya sebuah catatan kecil yang kau tinggalkan di udara kotaku, catatan tentang perjalanan 14 tahun kita.Aku tak berani menatapmu pergi, perut Boeing 747 menelanmu dan membawamu kembali ke kotamu yang sunyi. Kembali pada kesetiaan kosong, pada kenaifan seolah kaulah pangeranku dan takdirku. Bertahun-tahun kulalui hanya dengan mengingat namamu, sambil menyadari bahwa lelaki lain itu tak sepadan denganmu. Mereka yang datang padaku hanyalah kualitas rendah, atau jikapun kualitas setara, mereka tak memiliki apa yang selama ini kau miliki: debar yang ajaib. Debar yang mendadak mewujud saat aku menyebut namamu.
Memikirkanmu selalu demikian indah. Melahirkan berbait-bait puisi. Memerdukan seluruh lagu di jagad raya. Aku lupa bahwa faktanya kembali aku sendiri, bergelut dengan hiruk dan derap yang kuharap sanggup menghapus kenangan tentangmu. Sebab kau bukan milikku.Kau milik seseorang, atau sesuatu yang selama ini mengakuisisi waktu dan hidupmu.(*)
Kembali ke rumah, kembali pada dunia nyata: kesunyian. Senja baru mulai, dan aku tak akan membiarkan diriku dihantui oleh kehadiranmu selama 24 jam ini. Segelas kopi, kudapan dan sebuah buku tebal, senjata andalanku malam ini untuk membunuhmu. Sofa empuk yang nyaman, dan komposisi Rachmaninof sebagai pelengkap. Entah berapa lama tenggelam, hingga kusadari sebuah percakapan hadir dalam ruangku.
Bagaimana mungkin sebuah pernikahan hanya bertahan tiga bulan?
Kami bertengkar enam hari seminggu. Ada nada getir dalam suara itu.
Karena itu kau memasukkan foto-foto pernikahan kalian dalam peti?
Apa boleh buat. Suara itu kukenali…
Kita senasib. Isteriku pergi justru ketika karirku sedang bagus dan jadwalku begitu sibuknya. Ia kesepian, dan mengataiku laki-laki egois.
Kau memang egois, bahkan mengatakan rindu saja tidak pernah. O, bukankah itu suaraku sendiri?
Haha…! Orang itu tertawa seraya memelukku dari samping. Maaf telah memasuki rumahmu tanpa ijin, menurutmu kejutan ini manifestasi apa? Aku membuka mata, laki-laki itu memang ada. Bukankah seharusnya dia ada di dalam perut Boeing 747 sekarang?
Ingatlah malam ini, karena ini adalah awal dari selamanya.
Kemudian aku lupa, bahwa aku pernah melalui saat-saat kosong dan hampa selama 14 tahun belakangan ini. Lupa bahwa hidup pernah demikian sakit dan absurd.(*)