1.
PUTRI Kemuning duduk menyandarkan punggung di kursi kafe. Ia memesan tuna sandwich dan secangkir cappuccino. Sembari menunggu pesanan datang, Putri membuka-buka gawai untuk membaca berita hangat hari ini. Tepat saat pesanan mendarat di meja, matanya terpaku pada portal online yang menulis berita agak mencolok. Seorang Direktur Tertabrak Tronton di Depan Taman Mini. Tewas seketika.
Putri tersenyum, lalu melahap tuna sandwich.
2.
Sebuah pesan pendek menyergap ponsel Donga Tarigan.
“Aku di Jakarta,“ pesan singkat yang membuat ia batal memasuki lift. Ia menekan tombol hijau pada nama itu.
“Halo Jakarta,“ suara perempuan itu terdengar mesra.
“Oh, hai. Kau sampai kapan di Jakarta?“ Donga Tarigan tak mampu menyembunyikan rasa gembira. Bagaimanapun, mantan kekasih selalu menimbulkan gelegak yang tak dapat dijelaskan dengan logika.
Sore itu seharusnya cerah. Jakarta kadangkadang penuh dengan kesenangan, tapi bisa saja berubah menjadi tempat terkutuk. Ketika hujan tiba-tiba mengguyur hebat, dan sukses membuat kemacetan menjadi lebih gila dari biasanya, itulah terkutuk tahap pertama. Taksi-taksi tidak menyalakan lampu biru, artinya dia sudah terisi. Itu terkutuk tahap dua. Donga Tarigan mengumpat sambil membuang rokoknya yang belum sepenuhnya terisap. Ia tak mau berisiko menggunakan mobil dengan pelat nomor cantiknya.
Betapapun hasratnya membuncah untuk menunjukkan pada mantan kekasih bahwa ia telah berhasil, ia tetap punya kendali atas segala kemungkinan. Bertemu mantan pacar, setelah tujuh tahun sejak ia memutuskan menikah dengan orang lain?
3.
Pada suatu masa…
“Hai, kau di mana?“ telepon itu mendadak membuat ia bingung.
“Donga sayang, kau sedang di mana?“ perempuan itu mengulangi pertanyaan disertai nada cemas. Donga tak mampu mengucapkan kata, setelah satu jam lebih ponselnya tak bisa dihubungi. Jawaban apa yang harus diberikan pada kekasihnya yang telah bersetia selama enam tahun menjalin hubungan jarak jauh dengan sebulan dua kali pertemuan? Mereka terlalu dekat satu sama lain meski dalam jarak lebih dari 740 kilometer.
“Aku di Medan.“ Kemudian jeda, seperti ada embusan angin yang mendorong keduanya untuk menjauh satu sama lain. Pulang dan tidak berkabar? Tanya perempuan itu dalam hati.
“Maaf, aku tidak bilang padamu. Ayah sakit.“
Telepon itu disudahi dengan suasana serbakaku. Perempuan itu terlalu peka terhadap situasi. Seorang ayah yang sakit, keluarga besar akan berkumpul, menanyakan anak sulung yang belum juga menikah, rasa khawatir, bagaimana keturunan dan marga ini bisa dilanjutkan. Itu biasa, sangat klise. Perempuan itu mengerti apa yang harus dilakukan. Donga sudah 37 tahun dan belum menikah. Ia paham kisah selanjutnya.
4.
“Kenallkan, ini Dewinta,“ suara Donga ragu.Dewinta adalah sosok perempuan tanpa riasan, bermata belok dengan dada tipis, dan rambut bergelombang. Menurutnya, itu jenis yang kurang sepadan dengan masa depan lelakinya. Lelaki bertubuh sempurna dan pekerjaan yang menjanjikan: penyiar TV terkenal.
“Jadi kapan kalian akan menikah?“ pertanyaan pedas yang menohok dada Donga, yang bahkan mengucapkan perpisahan saja belum. Dewinta terbengong-bengong. Ia menatap kedua manusia itu dengan pikiran kacau. Kekasih Donga telah lama ia kenal namanya, tapi baru kali ini berhadapan. Perempuan matang, profesional, seolah tak punya perasaan. Cantik? Iya, Dewinta terguncang cemburu. Kemudian ditatapnya mata Donga Tarigan yang sangat berbeda. Ketika perempuan itu belum tiba mata Donga tampak biasa saja. Kini, mata itu bergairah dan berbinar binar. Juga cara bicaranya menjadi berapi-api. Dewinta menyingkir, berdalih ke toilet.
“Aku berharap anak kalian perempuan semuanya. Boleh kan seorang mantan kekasih berdoa paling buruk buat kekasihnya yang menikah demi keturunan?“
5.
Perempuan itu melintasi Stasiun Gambir dengan perasaan mendung, ingin menangis, tetapi terlalu malu pada diri sendiri. Ia menaiki bus jurusan Bandara Soekarno-Hatta dan duduk tenang. Membuka lembaran beberapa tahun silam.
Bandung sedang dilanda hujan deras ketika ia tertinggal kereta Turangga. Ia duduk putus asa di atas bangku panjang sembari mengunyah permen karet. Seseorang duduk di sebelahnya. Lelaki yang tampaknya hendak ke Jakarta, terlihat ia memegang tiket kereta Parahyangan. Lama saling diam, akhirnya lelaki itu membuka percakapan:
“Mau ke Jakarta juga?“
“Tidak ke mana-mana.“
“Kenapa ada di stasiun?“
“Mungkin tersesat. Kamu?“
“Mari tersesat bersama.“
Bertukar kartu nama, mengobrol semalaman, dan tertidur di stasiun. Benar-benar sebuah awal perjumpaan yang menggoda, di saat hujan sedang turun deras.
“Saya harus membeli tiket Argo Wilis pagi ini,“
kata perempuan itu setelah mengembalikan jaket pada pemiliknya.
“Saya boleh ikut?“
“Ini Senin, seharusnya kamu bekerja.Penggemarmu sudah menanti di depan televisi.“
“Alasan adalah nama tengahku.“
Mereka tertawa bersama dan memasuki gerbong kereta Argo Wilis, menikmati 12 jam perjalanan kemudian.
“Usiamu berapa sih sebenarnya?“ tanya lelaki itu setelah kereta melaju kira-kira empat jam.
“Yang jelas aku lebih tua darimu.“
“Dan kenapa kamu belum menikah juga? Kamu cantik, cerdas, berpenghasilan.“
Perempuan itu memikirkan kata-kata terbaik yang harus diberikan pada orang baru, yang cukup gila dengan mengubah tujuan dan menghanguskan tiket kereta, untuk membuat segalanya mudah dan sederhana.
“Aku tidak bisa menikah.“
“Tak cukup ada lelaki buat perempuan semenarik dirimu?“
“Masalahnya bukan itu,“ lelaki itu menatapnya intens. Membuat ia jengah dan mendadak ingin tertawa. “Oke, untuk apa aku menyembunyikan diri dari lelaki terkenal sepertimu. Aku perempuan Indonesia yang tidak akan pernah dinikahi oleh laki-laki mana pun.“
“Karena?“
“Aku mandul.“
“Bagaimana kau tahu?“
“Sesuatu tumbuh di rahimku. Sudah diamputasi.“
“Oh.“
“Cuma itu komentarmu?“
“Ya aku harus bilang apa?“
“Setidaknya tunjukkan wajahmu yang prihatin.“
“Kau bukan dalam posisi yang layak dikasihani. Kau perempuan yang merdeka, sadar keadaan, dan tidak meminta belas kasihan.“
Dari situlah segalanya bermula, hingga enam tahun kemudian, Dewinta mengambil alih seluruhnya, hari ini. Semula ia mengira tidak akan terjadi apa-apa, tidak akan. Ia merelakan itu terjadi, sebab ia tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka. Tetapi…
6.
Berita bahwa Donga akan menjadi tokoh penting telah tersiar di mana-mana. Bahwa Donga ternyata hanya memiliki anak perempuan, itu juga ia tahu. Tapi sebuah hal sederhana kadang terjadi tanpa diduga sebesar apa efeknya. Dewinta mengirimnya pesan elektronik. Dia akan menjadi tokoh penting sebentar lagi. Menjaga jarak darinya adalah pilihan bijak buatmu.
Sesuatu merekah dalam dada perempuan itu, seperti bibit kanker yang berhasil merenggut cita-citanya untuk memiliki keturunan. Ia seperti dipecundangi dua kali, pertama ketika dengan sukarela ia serahkan lelaki itu, dan sekarang. Ia memukul-mukul kepalanya sembari bertanya: apakah Dewinta sakit jiwa? Selama ini ia telah memilih diam dan menjauh. Penyakit apa gerangan yang menyabot otak Dewinta hingga menantang keberanian seorang mantan kekasih yang mundur baik-baik? Mungkin ia perlu bantuan psikolog. Beberapa artikel psikologi memang pernah menyebutkan beberapa level sakit jiwa. Bahkan mereka yang suka pamer kekayaan di media sosial pun dikategorikan sakit jiwa.
7.
Donga Tarigan mengetuk pintu kamar 710, yang tak lama kemudian terbuka. Seraut wajah lama muncul dalam senyum paling indah.Tak ada kalimat terucap. Mereka hanya saling menatap. Duduk di sepasang kursi di balik kaca, memandang keluar bersama. Obrolan kecil terjadi seputar rencana perusahaan di mana perempuan itu bekerja, perusahaan tempat Donga akan menjadi direktur. Dengan begitu, Donga akan menjadi bosnya. Saat Donga ke toilet, perempuan itu membubuhkan beberapa tetes obat tidur cair ke dalam kaleng minuman Donga.
Perbincangan singkat kemudian diakhiri oleh janji untuk bertemu makan siang esok hari, setelah executive meeting. Perempuan itu mengantarnya hingga lantai dasar, dan menyaksikan lelaki itu pergi.
8.
Putri Kemuning menghabiskan tuna sandwich terakhir, seraya meraih ponsel yang baru saja mendecit. Sebuah pesan pendek; Morning maam, executive meeting jam 10. Dirut baru, Donga Tarigan, akan memaparkan visi 2016. Itu sekretarisnya. Ia kembali ke kamar, membereskan riasan, dan menatap syal merah hati hadiah Donga Tarigan semalam. Ia bermaksud mengenakannya pagi ini agar Donga tahu betapa berharganya sebuah pemberian. Tapi ia tahu Donga tak mungkin datang, Putri Kemuning menutup berita online yang dibacanya dari gawai, dan memesan karangan bunga duka. (*)
*) Cerita pendek ini pernah diterbitkan di Media Indonesia