“Ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan,” ujar Noy.
Udara pengab. Kipas angin di atas lorong kereta tak lagi berguna. Satu-satunya harapan hanyalah angin yang menyeruak dari jendela kereta. Derai harmonika mencicit. Ditimpa suara gendang bertalu-talu. Meski terganggu, perpaduan keduanya cukup mengobati luka akibat derita kegerahan ini.
“Ini akan berlangsung selama 12 jam,” desis Noy lagi. Aku menghela nafas. Apa daya, hanya ini pilihan terbaikku. Semoga petang nanti aku sudah sampai di mulut desanya.
Seseorang bernyanyi. Harmonika dan gendang mengiringi. Suara-suara lain menimpali. Orang-orang mencoba membunuh sepi. Beberapa pemuda gondrong bersiul-siul. Sesekali tertawa. Asap rokok mengepul dari hidung dan mulut mereka. Ini zaman merdeka, begitu mungkin pikir mereka. Kami boleh berasap di mana pun suka, tak peduli ada hidung lain yang merana.
“Kau sudah mengirim kabar?” tanya Noy di tengah kegaduhan. Aku menggeleng. Noy melotot.
“Kau tak banyak punya waktu. Sudah kau sia-siakan hidupmu…” Ya…ya…dia benar. Perjalanan ini memang penuh risiko. Mungkin ini merupakan perwujudan jiwa petualang, yang lama tak menemukan kesempatan.
“Kira-kira seperti apa wajahnya?” Noy menerawang keluar jendela kereta. Pertanyaan itu pula yang beberapa hari ini menggerayangi pikiranku. Tapi selalu kucoba menjawabnya sendiri. Seperti apa pun, aku tak peduli.
Kereta melambat. Gendang tetap bernyanyi. Harmonika tetap berdenyit, meski sama sekali tak padu. Suara-suara lain melemah. Kabut kantuk mulai membelenggu para penumpang kereta. Derak-derak roda melemah, kereta akhirnya berhenti. Stasiun Wonosari. Pedagang tahu, roti, mangga, boneka, berhamburan mencari peluang. Mendadak suara-suara kembali bangkit. Udara bertambah gerah. Genderang belum juga berhenti.
“Bagaimana perasaanmu?” Noy menoleh ke arahku. Aku tak pernah peduli, meski pada rasaku sendiri. Aku pergi hanya mengikuti intuisi. Sudah begitu lama kucoba membuang bayangnya, sejak ia berkata: “Kau sudah menjadi milik orang lain, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kita akan mencari milik kita masing-masing.”
Meski aku tahu ia tak sungguh-sungguh, aku toh pergi juga meninggalkannya. Aku laki-laki muda, waktu itu. Laki-laki selalu penuh keinginan. Mungkin juga kesalahan. Dunia begitu penuh warna, laki-laki muda kadang silau oleh pancaran kemilaunya. Hingga sesuatu memudarkan pancaran itu, hadirnya seorang gadis muda yang berkata: Aku sudah telat lima minggu.
Roda kereta berderak kembali. Harmonika telah bungkam. Gendang membisu. Suara-suara lain kembali melemah. Ladang jagung menua, seolah berlari di antara kereta yang diam.
“Pernahkah kau merasa bersalah?” Noy menatapku tepat di kedua mata. Kubuang pandangku pada deretan ladang jagung yang menggelar warna putih kekuningan. Mestikah perasaan bersalah diberikan dalam bentuk pengakuan? Yang kulakukan sepanjang 8 tahun terakhir adalah mendoakannya, semoga ia bahagia dengan siapa pun lelaki pilihannya. Sesekali ia datang dalam bentuk mimpi atau fatamorgana di siang bolong. Tetapi aku laki-laki, aku dilatih dengan baik oleh lingkunganku untuk membunuh suara hati.
Stasiun kelima terlewati. Hari mulai menua. Cahaya sore sudah mengintip jendela. Masih dua stasiun lagi harus disinggahi kereta butut ini. Kucoba tidur. Mataku sudah tertutup rapat. Tapi dalam kelopak itu kudapati wajahnya. Seringkali aku bertanya, mengapa ia masih sering datang padaku dalam bentuk serupa itu? Noy mulai gelisah. Ia berjalan hilir mudik menunggu stasiun terakhir.
Harmonika telah benar-benar berhenti. Namun suara gendang makin menggila. Orang-orang ikut bernyanyi mengikuti iramanya. Beberapa sambil menari. Goyangan kereta membuat mereka tertawa-tawa. Menertawakan ketidakmampuan mereka membayar karcis eksekutif, menertawakan kemauan mereka dijejalkan dalam gerbong pengab. Peserta tarian kian bertambah jumlahnya, dimulai sepasang dua pasang kaki, akhirnya seluruh penghuni gerbong menari dalam iringan suara gendang, kecuali aku dan Noy.
Dalam hiruk-pikuk itulah aku membuka lipatan kertas lusuh dari kantongku. Surat ini dikirimkan beberapa minggu lalu, dialamatkan ke kantor. Sudah berkali-kali kubaca, untuk memahami artinya. Istriku hampir memergokinya, tapi sebagai laki-laki aku dibekali 1001 alasan untuk berdalih.
“Ini pasti surat cinta!” ia memekik-mekik.
“Asumsi perempuan seringkali salah dalam menilai sesuatu,” jawabku kalem.
“Aku istrimu. Aku berhak tahu apa yang kau simpan.”
“Sejak dulu sudah kukatakan, sekalipun suami istri, kita harus punya wilayah pribadi yang harus dihargai pasangannya.”
“Kau merahasiakan sesuatu dariku?”
“Semua orang perlu memiliki rahasia. Kalau tidak, kita telanjang di mana-mana.”
“Apakah ini soal wanita?” Ia akan mulai terisak.
“Lelaki memiliki banyak hal untuk dirahasiakan, selama kau berpikir rahasia pria adalah wanita, kau akan menderita selamanya.”
Perselisihan hari itu selesai. Dessert yang manis adalah memeluknya, menghapus air mata betinanya, lalu bercinta.
Sementara Noy hilir-mudik menenangkan diri, aku membuka lipatan surat ini dan membacanya untuk ke-17 kali.
Café Periplus jam 11.20 siang (Dalam harapan yang sia-sia di siang bolong).
Sejak kemarin sesungguhnya pikiranku sadar kau tak mungkin datang, tetapi hatiku. Dia bersikeras menunggumu di Jogja ini. Sedangkan aku tahu istrimu hamil tua. Tetapi alasan menjumpai penerbit seperti usulanku, tidakkah cukup mengelabuhinya?
Semalaman aku tidur dalam gelisah. Pendingin ruangan hotel Sosrowijayan tak mampu meredam gerahku. Sudah aku tongkrongi dirimu di warnet itu selama dua jam. Tapi namamu tak jua mencuat di Yahoo Massanger atapun Mirc. Sudah dua kali pula kulayangkan email selama dua jam itu. Jawabanmu nihil. Satu-satunya email darimu dalam bulan ini kuterima seminggu lalu. Isinya singkat: istriku hamil tujuh bulan, anak ke tiga. Aku tak mungkin meninggalkannya.”
Namun tetap saja kulayangkan kalimat lagi: “Aku di kamar 217 Hotel Sosrowijayan.” Naluriku mengatakan kau membaca emailku. Aku tahu kau ingin pergi. Aku tahu sedalam apa rasamu kepadaku. Tapi mungkin, istrimu wanita luar biasa yang mengantongi sejuta jimat Semar mesem, maka kau selalu berada di bawah ketiaknya. Kalau begitu kau adalah suami DKI.
Kenapa kau tak bernyali menemuiku? Bukankah aku pacar pertamamu? Kenapa kau tak berani selingkuh dengan mantan pacarmu? Paling-paling aku hanya perlu semalam dua malam denganmu. Terlalu sedikit jika dibandingkan dengan delapan tahun sejak kau jadi suaminya.
Tadi malam aku membayangkan dirimu memelukku. Aroma nafasmu, ketiakmu (yang mengandung sedikit amoniak kejantanan) serta bagian-bagian lain yang kukenal, memancing penderitaan cukup kuat. Bibirku terus-menerus memanggilmu. Harapku kaulah yang pagi tadi mengetok pintu kamar, ternyata cuma petugas hotel yang megirim secangkir kopi susu dan sebongkah omelet. Aku melahapnya juga. Anggap saja sebagai substitusi energi yang kugunakan dalam “pendakian” sendiri tadi malam. Dalam diam dan hening kuhirup ruap sedapnya kopi susu dan omelet ini, lalu aku menyiram tubuhku dalam hangat shower sambil membayangkan dirimu. Berikutnya aku mematut diri dalam cermin sembari menyadari kerja usia yang sempurna memahat kerut-merut pada seluruh bagian tubuhku. Waktu begitu kejam merenggut segala yang ada, sebelum aku dapat melakukan sesuatu, tiba-tiba saja terasa tepian batas itu sudah kian dekat.
Di café ini aku mencoba berandai-andai. Kau datang melongok rak-rak berisi buku asing itu. Kemudian menoleh ke arahku, kita berpagutan di sini tanpa peduli bahwa ini masih di Indonesia. Anggap saja ini Venesia, tempat kita pertama kali rendevouz. Tetapi di café ini hanya ada laki-laki bule, sama sekali tak identik dengan kulitmu yang nyaris legam serta nafas beraroma tembakau Virginia.
Baiklah Yon, sekarang kegelisahanku hampir sirna. Kakiku sudah mampu bergoyang bersama lagu “Girl from Ipanema” yang dimainkan pria sipit dengan grand pianonya di sudut sana. Kesia-siaan ini bukanlah tanpa alasan. Bukankah kita harus mengejar setiap mimpi yang kita genggam? Aku telah melakukannya dengan sempurna. Dan kini terasa betapa indahnya pengejaran itu.
Setidaknya kau tahu perasaanku tetap sama seperti 10 tahun lalu. Belum pernah ada caretaker di dalamnya. Peluang itu tetap milikmu, meski dulu terlontar keinginanku akan mencari pria lain. Sekarang keinginanku cuma satu: aku ingin mati dalam bahagia.
Saraswati
Pacar pertamamu
Kalimat terakhir itu tak kusukai. Sekaligus menjadi magnet, menciptakan pusaran, semakin kuat tiap jamnya. Akhirnya inilah perjalananku.
Para petani tembakau mulai beranjak meninggalkan ladang. Mereka melambai pada kami dengan wajah berseri. Aku tak tahu apakah hal ini semacam kebiasaan, atau sebentuk kekaguman pada lokomotif merah dengan sembilan gerbong yang meliuk-liuk menciptakan gaduh di antara ketenangan sawah ladang. Aku mencoba ikut melambai sebagai tanda partisipasi.
Harmonika berdenyit lagi. Suara gendang berganti jenis pukulan. Kali ini lebih pantas disebut genderang perang. Suara istriku kembali terngiang.
“Aneh! Sejak kapan seorang redaktur mendapat tugas reportase, di Lawang lagi. Ada apa sih di sana?” Sekali lagi, kemampuan improvisasiku mendapat tantangan.
“Liputan khusus tokoh-tokoh veteran. Semua reporter mendapat tugas meliput di ibukota. Kalau tidak percaya, telepon saja pemred-ku.” Tentu saja aku sudah membuat perjanjian dengan bosku itu, dan menyuap teman-teman sebelah meja dengan nasi padang beberapa bungkus untuk mempermulus perjalanan ini.
Noy kembali kepadaku. “Sudah dekat, bersiaplah,” serunya. Akhirnya memang, kereta berhenti di Stasiun Lawang. Sekeranjang perasaan bahagia bergelembung menyertai pergeseran kakiku. Segera kulipat Noy dan kurapikan, lalu kembali kumasukkan ke dalam dadaku, karena di situlah tempatnya sehari-hari. Dari situ pun kami tetap bisa berdialog sepanjang mataku terbuka.
Matahari benar-benar telah ditelan Bethara Kala ketika aku meloncat dari ojek. Bulan mengintip di angkasa dengan separuh wajahnya. Deretan pohon akasia berbaris dingin di sepanjang jalan. Dewa Maruta berlenggok tipis penuh kemalasan. Sementara anjing-anjing kampung melangkah gontai mencari pasangan kawin untuk melawan dingin. Sesekali raungnya mengiris telinga.
Aku berdiri tepat di depan rumah yang sama sepuluh tahun lalu. Rumah kayu berwarna hijau dengan pagar beluntas dan pohon rambutan di sekelilingnya. Samar-samar cahaya lampu dinding menyeruak melalui celah-celahnya. Termangu sejenak, menata debar sebelum aku memukulkan jemariku pada daun pintu dengan ketukan khas milik kami berdua. Setelah ketenangan kembali tergenggam, aku mulai beraksi.
Tok toktoktok toktok tok
Tak ada reaksi. Sekali lagi.
Tok toktoktok toktok tok.
Terdengar suara sendal diseret, pintu berderit.
“Yon…kaukah itu?” suara yang sama. Irama yang sama. Dadaku kian berontak. Perasaankukah yang masih sama?
Pintu kayu membelah dari kedua helainya. Seraut wajah menyembul. Masih wajah yang sama. Bedanya hanyalah saputan pucat di wajahnya. Ia nampak begitu kurus dan menua.
Aku memeluknya. Ia memelukku. Nyaris tanpa kata-kata. Jantungku mendadak berguncang begitu hebatnya. Dan kurasakan Noy meronta-ronta dari dalam dadaku. Entah ia mau bilang apa.
“Akhirnya kau datang, Yon. Akhirnya….” Ia menciumi seluruh wajahku tanpa ampun. Aku membalasnya dengan keganasan serupa. Aku tak merasai apa-apa kecuali rindu yang pekat, kehilangan yang begitu lama. Akhirnya kami tergeletak tak berdaya, lelap dalam mimpi bahagia. Dan terjaga esok pagi oleh sengatan matahari yang berhamburan dari jendela. Tetapi aku tak lagi berada di atas kasur, melainkan di atas kursi malas di ruang tengah, tempat kami dulu berbagi cerita menanti malam.
Tetapi kali ini kursi malas tidak sendiri, dia menempati salah satunya.
“Selamat pagi, pria perkasa.” Ia sering memanggilku demikian, aku suka mendengarnya. Entah palsu atau nyata, panggilan itu semacam kalimat pemujaan, membuat laki-laki merasa begitu bangga.
“Sekarang kau milikku selamanya, kau tak bisa ke mana-mana.” Secara spontan aku bangkit, namun sesuatu menahanku. Kedua tangan dan kakiku terbelenggu pada kursi malas. Nanar kutatap satu per satu dengan penuh tanda tanya. Dia tersenyum menatap keluar jendela seraya mengayun-ayunkan kursi goyangnya. Dengan wajah penuh kemenangan ia mengangkat segerombolan anak kunci.
“Mereka akan kubuang ke dalam kakus. Kau akan di sini menemaniku sampai ajal menjemputku. Hodgin Limpoma-ku sudah akut sejak beberapa tahun lalu. Kaulah satu-satunya yang harus menyaksikan kepergianku nanti. Jangan takut berteriak kalau kau ingin. Para tetangga sudah menantimu lama, seorang mantan penghuni rumah sakit jiwa Menur. Mereka juga yang menyiapkan pasungan berbentuk kursi malas ini.”
Yang bisa kulakukan kini hanyalah menatap wajahnya dengan putus asa.***
Wina Bojonegoro