Keberanian itu adalah kesanggupan untuk melihat kenyataan di balik punggungmu.
(Wina Bojonegorto, Cerpen Negeri Atas Angin)
Sebaris kalimat menarik dan kontemplatif ini ada di salah satu kumpulan Cerpen Mozaik Kota Kenangan, karya Wina Bojonegoro. Kumpulan cerpen ini merupakan 17 cerpen Pilihan selama 28 tahun Wina Bojonegoro berkarya baik sebagai penulis cerpen maupun novel. Sebaris kalimat tersebut barangkali bisa menjadi representasi tema-tema yang disampaikan dalam cerpen-cerpen Wina Bojonegoro. Penulis kelahiran Desa Ngasem, Bojonegoro ini tentunya punya pertimbangan-pertimbangan tertentu hingga memilih 17 cerpen dari banyak cerpennya dalam masa 28 tahun berkarya.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan setelah membaca kumpulan cerpen Mozaik kota Kenangan ini, yang pertama adalah tentang gagasan atau tema yang diambil oleh penulisnya. Dari 17 cerpen ini sebagian besar mempunyai tema tentang cinta. Tetapi wina memilih tema tentang cinta bukan hanya cinta yang berwajah penuh bunga keindahan, tetapi lebih menonjolkan wajah cinta dari sisi yang lain yaitu cinta yang melahirkan luka, kesepian, keterasingan, dan keterpurukan. Tema tentang cinta tersebut diramu dengan tema-tema kondisi social budaya yang ada di lingkungan para tokoh yang diciptakannya. Berjalin kelindan antara konflik sang tokoh dengan konflik yang ada di luar diri sang tokoh. Seperti Cerpen Negeri Atas Angin ( Hal 3 ), cerpen yang bercerita tentang Darsini, Penari Sindir ( Penari Tayub/Ronggeng), perempuan yang menikahi kura-kura (Hal 97), dan kota kenangan (Hal 237). Konflik-konflik cinta yang ada dalam diri para tokohnya berjalin dengan tatatan social masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki.
Yang kedua adalah gaya bercerita. Wina yang lahir di desa dan bekerja di Kota Surabaya tampak piawai menuliskan cerita dengan gaya mengalir linier meski sesekali flash back. Wina berhasil membuat cerpen yang “Menjadi” (meminjam istilah Chairil Anwar ), sebuah cerita yang benar-benar pendek, ringkas tidak bertele-tele tapi berhasil mengganggu pembacanya untuk berimajinasi lewat tokoh dan cerita yang diciptakannya, kemudian merenungkan apa isi yang tersirat dalam kisah-kisah pendek tersebut. Wina berhasil membuat ceritanya menarik untuk dibaca, karena dia bisa menulis secara cermat dan detail selain kharakter para tokohnya juga latar belakang tempat para tokoh yang diciptakannya berada. Bisa bercerita dengan idiom-idiom desa saat bercerita dengan setting desa, ( Cerpen Negeri Atas Angin, dan Perempuan yang menikahi Kura-kura), kemudian berbalik 180 derajat bercerita tentang ikon-ikon metropolitan dengan kalimat-kalimat yang lugas dan memukau, seperti pada cerpen Prime Customer ( Hal 177 ) dan Lelaki Asing yang Menemaniku Ngopi Malam Itu ( Hal 147 ). Sesekali juga menyelipkan kalimat-kalimat puitis dan bahkan kadang ada sinisme pada nuansa kalimat-klaimat yang disusunnya.
Hobbynya traveling membuat Wina juga dengan mudah membuat cerita perjalanan dengan setting cerita tempat-tempat tujuan wisata, seperti pada cerpen Lang Lang dan Kelana (Hal. 23). Dalam gaya penceritaan ini yang juga menarik adalah bagaimana wina mengakhiri ceritanya atau pada ending cerita. Cerpen-cerpennya selalu menyajikan ending yang tak terduga, apa yang diduga pembaca saat membaca cerita sampai pertengahan ternyata salah, bahkan di beberapa cerpennya memberikan ending yang terbuka, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berdentangan dalam kepala pembaca, Ending yang bisa ditafsirkan sesukanya oleh para pembaca. ( seperti Pada Cerpen Korsakov, hal 1, Konspirasi Minggu Pahi, hal 135, pengakuan Rusmini, Hal 193, dan orang-orang sakit, Hal 161). Ada yang paling saya suka di kumpulan cerita ini, adalah Cerpen Kota Kenangan ( hal 237 ), wina bercerita dengan idiom dan metafora yang puitis, seperti saat bercerita tentang musim yaitu musim luka, musim cinta, dan musim tawa. Diramu dengan cerita tentang kebusukan-kebusukan siasat politik yang di representasikan pada sang tokoh yang bernama mimikri.
Kepiawaian menulis ini tentu tidak hadir begitu saja, perlu latihan menulis yang tekun, membaca buku, dan riset sebelum menulis tema-tema yang mempunyai setting tempat dan suasana yang berbeda.
Yang ketiga adalah makna apa yang bisa direnungkan oleh para pembaca setelah membaca cerpen-cerpen ini. nilai-nilai kehidupan apa yang sebenarnya hendak disampaikan di dalam tiap cerita. Bukan sebagai bagian dari pencarian benar dan salah, tetapi lebih kepada menguak apa yang sebenarnya hendak di sampaikan penulis. Realitas apa yang hendak disampaikan, baik realitas yang ada di depan maupun di balik punggung kita. Dalam hal inilah pembaca karya sastra juga dituntut untuk cerdas dalam membaca. Menurut saya, dalam cerpen-cerpen ini wina lebih memilih menyampaikan sifat-sifat yang ada pada manusia , sifat yang menjadi dasar dalam tingkah lakunya, dan memberikan konsekuensi-konsekuensi logis yang harus diterima oleh para tokoh yang ada diceritanya. Hal yang terpenting adalah kesanggupan untuk melihat kenyataan yang ada kemudian bagaimana cara menghadapinya.
Untuk karya-karya selanjutnya saya berharap wina tetap konsisten dengan gaya bercerita khasnya ini, dan lebih dalam mengeksplorasi konflik-konflik yang terjadi akibat ketimpangan masalah-masalah agama, politik, ekonomi, social dan budaya. Karena menurut saya, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang selalu dekat dengan tema-tema kemanusiaan. Karya-karya sastra yang minimal bisa mengganggu pikiran orang agar bisa memanusiakan manusia. Selain itu Kumpulan cerpen ini menjadi lebih menarik untuk dibaca dan direnungkan karena adanya ilustrasi hitam putih dari B.G. Fabiola Natasha. Ilustrasinya di tiap cerpen yang ada bisa menjadi kesatuan yang utuh dengan tema yang ada di cerpen-cerpen tersebut, bagaikan sebuah ilustrasi music dan filmnya yang menjadi satu kesatuan yang utuh.
Salam Sastra.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun