Delapan tahun lalu, Mat Karto berhasil menjual tiga ekor anak sapi yang diurusnya sejak bayi. Ia menjadi jutawan muda tiba-tiba. Memiliki uang tunai dua puluh juta adalah sebuah kemewahan bagi warga dusun Semambung. Angka besar itu seketika membuatnya limbung. Diantara galau dan risau, pak Kaji Dasuri tiba-tiba melontarkan ide:
“Kalau kau masukkan bank, itu sudah jadi uang muka biaya naik haji Mat. Dengan demikian kau sudah punya daftar tunggu.”
Barangkali malaikat sedang melintas di warung kopi milik mbak Rohmah sore itu. Perbincangan sekilas itu mengetuk hati Mat Karto yang esok paginya segera menuju bank rakyat di Purwosari. Bahkan ketika Emak bertanya pun, ia merahasiakan untuk apa uang penjualan sapi-sapi itu.
Namun, Mat Karto tak mampu menyembunyikan fakta. Ketika ia menerima panggilan untuk melunasi ongkos naik haji. Ia tak cukup dana untuk melengkapinya. Dan Mak Tinayah, menjadi pahlawan. Dengan sukacita ia menggadaikan sawahnya, untuk dicicil secara kredit kepada Haji Dasuri selama tiga tahun.
“Mak, kalau kita tidak punya uang, berarti belum waktunya haji.”
“Kalau kita diberi kemudahan untuk mendapatkan uang, demi pelunasan biaya hajimu, berarti Allah ridla.”
“Meskipun dengan uang riba?”
“Pak Kaji Dasuri itu bukan bank, kok riba.”
“Tapi Mak menggadaikan sawah dengan cara dicicil, dan ada bunganya kan?”
Mak diam. Mat Karto merasa sangat bersalah. Ia sudah berusaha menjelaskan pada emaknya, bahwa tidak mengapa menunda kepergian sampai uangnya benar-benar tersedia.
“Kalau kau menunggu uang tersedia, memangnya kamu mengharapkan uang dari mana? toko meracang kita kan sudah tidak jaya seperti dulu. Sejak toko ber AC dengan kasir bermesin itu merajalela sampai pelosok desa, toko kita menyusut perolehannya. Orang-orang lebih suka belanja disana. Katanya disana sering ada promo. Ada toilet. Bisa milih barang sendiri. Dan penjaga tokonya ayu-ayu.”
“Ya wajar sih mak. Orang kaya bisa jualan apa saja. Ya pulsa, ya listrik, ya bayar cicilan motor. Lha kita? Kalau ngantuk tokonya tutup.”
“ Jika semua orang pada suka belanja ke mini market itu, lalu nasib orang kecil seperti kita gimana? Nyawah kamu juga wegah.”
“Aku bukannya wegah mak, tapi gak kuat panas…”
“Ya sudah kalau begitu terimalah kenyataan.”
“Kenyataan apa?”
“Kamu harus berangkat haji dengan hasil emak menggadaikan sawah.”
“Kalau kita tidak bisa membayar cicilan ?”
Mak Tinayah memandang lurus ke arah pintu. Sesosok laki-laki telah berdiri disana, Kaji Dasuri menyapa lembut….
“Assalamualaikum….”
(*)
Dua buah bus Ilham Jaya milik Kaji Ilham dari dusun sebelah, telah menanti di depan balai desa. Sekolah-sekolah telah diliburkan, guru-guru mereka akan mengantarkan kepergian Mat Karto. Perangkat desa. Pengurus Diba’an. Pengurus koperasi. Anggota banjari. Semuanya telah siap memenuhi dua bus pariwisata itu. Kegembiraan meluas memenuhi seluruh warga Semambung, semuanya akan piknik ke Surabaya.
Malam sebelumnya, telah dilakukan upacara Yasinan dan Tahlil untuk melepas kepergian Mat Karto. Dusun Semambung menggeliat, seorang anggota Banjari yang sehari-hari adalah wakil ketua KUD Hasil Tani dan pemilik toko peracangan kecil, akan bergelar haji. Tidak, dia bukan pemilik sesungguhnya. Melainkan Bu Tinayah, ibunya Mat Karto adalah pemilik toko itu. Seluruh penduduk dusun sukacita menyambut kabar pergi hajinya Mat Karto. Dengan demikian, dusun itu akan memiliki lima orang yang bergelar haji, sejak era 90-an.
“Mat, ayo bersiap.” Tegur Mak Tinayah. Mat karto yang resah hanya mendesah.
“Mak…”
“Mereka sudah siap. Emak sudah bagikan nasi kotaknya untuk bekal di perjalanan.”
“Mak, siapa yang akan membayar dua bus itu?” Mak Tinayah tersenyum. Disentuhnya pundak anak lanang satu-satunya.
“Tenang. Mak sudah urus semua.”
“Mak…!”
“Sudah. Bagi Emak, gelar hajimu itu jauh lebih berharga dari apapun. Mereka akan memanggilmu Cak Kaji. Satu-satunya kaji termuda di Semambung. Dan sebagai orang yang melahirkanmu, Emak akan turut naik derajat,Le.”
“Mak….Haji itu bukan urusan derajat. Haji itu ibadah. Sama seperti puasa, zakat, sholat….”
“Wes, ora usah rame. Cepet siapkan kopermu. Ayo Mak bantu.”
“Mak…aku tidak ingin merepotkan banyak orang. Haji adalah urusanku dengan Allah.” Mat Karto masih berusaha membujuk Emak-nya agar tidak terlalu sibuk mengurusnya. Namun mak Tinayah seperti tak mendengar apapun.
“Mat, kamu rausah mikir apapun ya. Untuk belanja oleh-oleh, biar mak belanjakan di Pasar Turi. Syukuran pergi, syukuran pulang. Motong kambing, nanggap banjari, sewa bus, manggil ustadz sudah Mak urus. Pokoknya tugasmu tinggal berangkat dan pulang dengan membawa piagam haji. Seperti kaji Ilham itu.”
“Mak. Aku ini mau naik haji, bukan mau menikah.”
“Kamu tahu? Pak Kaji Dasuri itu waktu pulang haji, yang datang minta barokah berduyun-duyun. Dari desa-desa sebelah. Oleh-oleh seribu biji tidak cukup.”
Mat Karto ternganga. Haji adalah gelar. Mereka tak lupa menuntut panggilan itu di depan nama, tak segan mengubah KTP untuk itu. Tak lupa mereka mengenakan pakaian jenis baru, baju putih panjang dan surban. Sejak itu masyarakat yang bertemu dimanapun, akan mencium tangan para kaji.
“Jangan lupa doakan Emak, sehat, dan awet urip.”
“Emak tak ingin pergi haji?”
“Kamu sih, daftar haji pakai rahasia, tahu gitu emak bisa jual sawah di barat itu buat kaji.”
“Maaf Mak, harusnya Mak duluan pergi haji, bukan aku..”
“Ah…nanti saja. Mak takut. Katanya balasan semua kelakuan kita disini bakal dibalas langsung.”
“Alah, itu kan katanya. Mak belum tahu sendiri. Lagipula apa dosa Emak sampai takut dibalas di Mekkah?”
“Hush! Sudahlah,nanti mak tunggu ceritamu.”
(*)
Di depan asrama haji, Mat Karto meminta para pengantar segera meninggalkan halaman untuk melanjutkan perjalanan ziarah ke makam para Wali, diantara Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bungkul.
Gus Manaf turut melambai kepada para pengantar dengan air mata lebih deras dari milik Mat Karto. Lelaki setengah gondrong yang dikenal sebagai sahabat Mat Karto itu adalah pendiri dan pengelola pondok Pesantren di kaki Arjuno. Ia memiliki lebih dari dua ratus anak asuh usia belasan tahun, yang di pungut dari jalanan dan diasah menjadi santri-santri di pondok itu. Para santri yang entah lari atau terusir dari keluarganya, beberapa diantaranya bahkan tetangga sendiri yang selama ini menjadi pelanggan polisi.
Di dalam pesantren itu, mereka bukan hanya boleh tidur, makan dan sekolah sesuai usia. Namun mereka boleh mengikuti banyak kegiatan: music, seni rupa, kriya, pertukangan, wirausaha, dan sebagainya.
Mat Karto adalah salah satu guru di pesantren itu, tentu saja tanpa bayaran. Sebagai wakil ketua KUD, tugasnya mengajarkan dasar-dasar Koperasi dan kewirausahaan. Setiap Sabtu,Mat Karto akan berdiri bergiliran dari kelas satu kepada kelas lainnya. Kemudian dilanjutkan ngobrol dan ngopi di saung kecil tepi sawah, bersama Gus Manaf.
“Lalu apa rencanamu,Mat ?” tanya Gus Manaf sambil mengerjab, membuang sisa Kristal di matanya.
Mat Karto menghela nafas berat, kemudian menatap sahabatnya itu dengan wajah tampak tegar.
“Jangan cemas, Gus. Lanjutkan saja pembangunan pondok itu. Kasihan para santri. Mereka butuh ruang kelas yang nyaman dan ruang tidur yang memadai. Nanti kalau bantuan pemerintah jadi turun, baru Gus Manaf boleh berpikir ulang mengembalikan.”
“Bagaimana dengan hajimu? emakmu pasti akan marah jika tahu kamu tak pergi haji.”
“Ya jangan sampai tahu. Aku akan bekerja di Tahuna. Disana ada kawan yang membutuhkan guru ngaji bagi para mualaf. Sementara Gus harus cari pengganti guru Koperasi dan Wirausaha.”
“Porsi hajimu?”
“Aku sudah minta penundaan ke Depag. Aman..”
“Tapi Mat. Bagaimana orang-orang Semambung jika kamu tak pulang nanti?”
“Membangun pesantren dengan dua ratus lebih santri tak mampu, itu lebih baik dari pada membakar mercon dan potong kambing kan ?”
Gus Manaf tak dapat menahan aliran embun di matanya. Dirangkulnya Mat Karto yang tampak tegar, ia tersenyum sambil menatap koper kecil yang semula hendak diusungnya ke Kota Suci. (*)
Dusun Semambung siang itu terasa lebih renyah dari biasanya. Sekumpulan masyarakat yang sehari-hari berladang dan berkebun itu disibukkan oleh aktivitas langka. Mercon raksasa telah disiapkan untuk menyambut seseorang. Seekor kambing telah disembelih atas nama persaudaraan Banjari. Setiap wajah berubah ceria, menunggu peristiwa besar yang belum tentu terjadi setahun sekali. Mereka menunggu Haji Mat Karto. (*)
Cerpen : Wina Bojonegoro
ditayangkan Kompas.id 28 September 2019