Cerpen

Lalijiwo

Lalijiwo

Suara emas Maharani di telepon tadi siang terus membayang, seolah mengikuti gelombang pikiranku yang beriak seputar rambut ikalnya nan legam. Rambut tebal dan panjang itu terus berkibar-kibar di pelupuk mataku. Perlahan kuletakkan tubuhku di kursi teras sembari memandang lalijiwo yang tengah berbunga lebat.

“Oh, lalijiwo…andai saja kau berbunga lebih cepat tiga bulan, mungkin saja anak cucuku sudah di sini sekarang.” Gumamku di hadapan pohon rimbun menjulang itu.

“Datanglah tiga bulan lagi.” Tadi aku berkata kepada Maharani demikian.

“Horeee…! Kami akan berkunjung bersama keluarga teman-teman.”

“Eyang akan bahagia.”

“Kami akan membuat buku bersama, judulnya Berlibur ke Rumah Nenek.” Dia menambahkan sambil bercerita betapa hebatnya kelompok literasi anak yang digelutinya. Meskipun judul Berlibur ke Rumah Nenek itu sesuatu yang mainstream, tetapi sebagai seorang nenek aku harus menyampaikan kekaguman.

“Kalian hebat sekali.”

“Kami membuat rencana.”

“Oh ya? Seperti apa?”

“Kamu memilih apa?”

“Menulis dong. Rani sudah punya judul, Panen Mangga Lalijiwo.”

“Wow, menarik sekali.”

“Sampai jumpa tiga bulan lagi, Eyang.” Suara emasnya mengakhiri perbincangan telepon.

Pada musim lalu, Maharani memanjat mangga lalijiwo itu ketika sedang mengkal dan siap diunduh. Wajahnya terlihat bahagia, bahkan cenderung histeris. Dengan cepat dia belajar dari petunjuk kami bagaimana memilih mangga lalijiwo yang boleh dipetik. Yaitu, yang berwarna hijau gelap dengan bintik kehitaman pada sekujur kulit buahnya. Bersama ayahnya, dia bergelantungan, memetik buah, lalu melemparnya kepada kami yang menunggu di bawah dengan keranjang bambu. Itulah adegan heroik yang kami tunggu setiap tahun.

Mereka—ayah, ibu, dan anak—tak henti jejeritan. Sering kali mereka berkomentar heran, bagaimana mangga yang kulitnya begitu keras, warna hijaunya begitu tua, biji peloknya begitu besar, namun rasanya begitu dahsyat. Kulit kerasnya susah digigit, mau tak mau harus menggunakan pisau untuk menikmatinya. Apa yang mereka sukai dari mangga jenis itu adalah nyaris tak ada rasa asam pada buah yang remaja hingga dewasa.

Mereka pantas merasa begitu cinta pada mangga kami. Zaman sekarang, mangga lalijiwo tak banyak ditemukan. Para periset dan pelaku rekayasa pangan mungkin telah mengawinkan beberapa jenis mangga menjadi varietas baru. Menantuku, Alex (suamiku sangat tidak suka menyebut nama itu—sebagai orang Jawa, menurutnya nama seharusnya njawani), mengatakan bahwa mangga lalijiwo masuk kategori tanaman langka.

Buah endemik Jawa itu memang tak banyak ditemukan di Indonesia. Hanya beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat, hanya sekitar Indramayu. Kata Alex lagi, lalijiwo termasuk dalam Daftar Merah (Red List) International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Mereka memasukkannya dalam golongan tanaman atau spesies langka yang cenderung punah.

Lalijiwo kami hanya satu, ditanam sejak pengantin baru sebagai tetenger pernikahan, dan ditanam oleh tangan suamiku sendiri. Peristiwa itu terjadi tepat sepekan pernikahan, ketika orang Jawa biasa melakukan upacara sepasaran pengantin. Pada hari itu, pengantin yang selama sepekan tinggal di rumah orang tua pengantin perempuan akan diunduh oleh orang tua pengantin lelaki dengan upacara yang nyaris serupa dengan acara sebelumnya, disebut ngundhuh mantu. Setelah itu, pengantin boleh memilih di mana akan tinggal.

Kami kebetulan mendapat warisan tanah kosong, yang dibangun pelan-pelan oleh suami dan kerabatnya, dengan biaya murni dari gaji suami sebagai guru. Kadang-kadang ditambah gajiku sebagai pegawai kecamatan. Saat menempati rumah ini pada awal mulanya, hanya ada rumah induk dan pohon mangga lalijiwo itu di halaman depan bagian kanan. Ketika anak ketiga lahir, suamiku diangkat sebagai kepala sekolah. Tabungan kami meningkat, dan mulailah membangun sebuah joglo di depan rumah induk. Bangunan itu selanjutnya jauh lebih hidup dengan pemakaian warga sekitar untuk perayaan Agustusan atau acara apa saja yang membutuhkan ruangan luas.

Joglo dan mangga lalijiwo adalah prasasti perjalanan hidup kami berdua. Pernik kebahagiaan yang menjadikan hidup kami berjalan penuh dinamika, berwarna, tak pernah kosong.

“Jadi, kapan Maharani akan berlibur?” Suara suamiku meruyak biang nostalgiaku.

“Menunggu panen lalijiwo.”

“Sebelum codot mulai datang, kita telepon mereka.”

“Pak Martono datang lagi tadi pagi.”

“Untuk apa? Wong mangga belum pentil kok sudah diparani.”

“Kenapa dia tak jera juga?”

“Malah dia menawarkan harga lebih tinggi…”

“Berapa pun harga yang dia tawarkan, tidak akan dijual!!” Suara suamiku meninggi.

Mangga lalijiwo ini memang idola. Selain buahnya selalu lebat, rasa manisnya pun di atas rata-rata. Banyak orang bertanya resepnya apa sehingga satu pohon bisa menghasilkan buah lebih dari lima karung goni. Mereka tak percaya bahwa resepnya sederhana: menyiramnya dengan banyu leri serta mengajaknya bicara. Sesekali suamiku memupuknya dengan pupuk kompos yang dibuatnya sendiri dari sampah organik dapur kami.

“Wah hahaha, Pak Besar mbanyol, masak pohon diajak bicara?” Begitu selalu respons mereka saat mendapat penjelasan.

Saking langkanya, di pasar tradisional pun sudah jarang ditemui orang menjual lalijiwo. Tak heran jika beberapa juragan—panggilan untuk para tengkulak—selalu mampir kemari dan menawarkan uang tunai di depan untuk memborong mangga itu. Ngijon istilahnya. Mereka berkeliling desa untuk mencari pohon apa pun yang sedang pentil untuk dibayar di depan supaya bisa membeli dengan harga semurah-murahnya. Kami selalu menolak tawaran para pengijon. Bukan kami tak butuh uang, tapi kegembiraan mengizinkan cucu kami memanen, atau mengirim buahnya yang masak ke Jakarta, adalah kebahagiaan yang tak akan sepadan dengan uang berapa pun.

***

Percayakah kalian pada apa yang disebut kemalangan? Yaitu sesuatu yang memenggal cita-cita dan menggugurkan seluruh harapan. Cinta yang kandas. Kekasih yang direnggut. Klangenan yang terbunuh. Kemalangan itu menimpa dua bocah yang berusaha mencuri mangga lalijiwo dua bulan kemudian. Mereka terjatuh dari pucuk paling tinggi. Dua sekaligus. Salah satunya mengalami retak pada tulang tengkorak. Lalu, nasib berkata lain, ajal merenggut satu di antara dua bocah itu. Mereka bukan pencuri, bukan pula penyelundup. Pagar halaman kami hanya terdiri atas deretan pohon mangkokan dan daun beluntas. Siapa pun bisa masuk tanpa harus mengetuk pagar atau memencet bel. Buah-buah lalijiwo itu sering bertandang ke rumah tetangga ketika musimnya memang tiba. Tanganku sendiri yang mengirimnya dengan sukacita. Tapi, namanya anak-anak. Mereka belum tahu bahwa rasa ingin memiliki yang berlebihan itu mengandung resiko. Dan malangnya, para orang tua menganggap kenakalan serupa adalah hal wajar.

Seminggu setelah peristiwa pilu itu, masyarakat berbondong-bondong menuju rumah kami. Beberapa bahkan orang yang kami kenal baik dan kami santuni. Mereka bersama kepala dusun menuntut agar kami merelakan lalijiwo. Betapa pun kami berusaha sekuat tenaga mempertahankannya. Dengan argumen bahwa bukan lalijiwo yang bersalah, anak-anak itu yang kurang hati-hati, gerombolan unjuk rasa itu semakin murka. Ayah anak yang tewas itu berteriak dengan jeritan pilu memanggil nama anaknya. Percayalah, kepiluan yang dipertontonkan secara berlebihan itu menjijikkan. Namun, tangisan dendam itu mendorong gerombolan lain merangsek, mengancam akan membakar rumah kami jika tak meluluskan permintaan mereka menebang pohon lalijiwo. Duh Gusti, aku tak sanggup melahirkan kata-kata lagi, alam semesta sering kali bercanda tanpa kita-kira kedahsyatannya.

Kami menatap reruntuhan lalijiwo itu dengan perasaan berkeping-keping. Telah hilang satu pernik kebahagiaan dan tetenger perjuangan hidup kami. Meski tak kuizinkan, dua buah sungai mengalir dari hulu mataku. Suamiku menggenggam tangan kananku, memberi kehangatan pada kelu yang menjaring lidahku. Kematian apa yang sanggup menandingi perasaan ini? Ia telah berusia empat puluh lima tahun. Sepanjang itu kami merawatnya dengan cinta. Ia membalas kasih kami dengan buah yang selalu lebat dan manis tiada tara, memasok udara jernih, mengayomi siapa pun yang berteduh di bawahnya, bahkan disodorkannya ranting-ranting tubuh untuk kami memasak di dapur.

Tetapi, ia ditumbangkan oleh kesalahan anak-anak itu, bukan karena kesalahannya sendiri. Ia dikambinghitamkan oleh sekelompok masyarakat dan pemimpin dusun yang merasa harus melindungi warganya. Ia dibunuh ketika sebulan lagi seharusnya musim panen tiba, saat Maharani akan menulis cerita bersama kawan-kawannya. Bagaimana harus mengatakan kisah pilu ini kepadanya? Masihkah ada cerita Berkunjung ke Rumah Nenek setelah lalijiwo tiada?

Suamiku memeluk pundakku seraya berbisik, “Lalijiwo itu telah berkorban untuk keselamatan kita.”

“Lalu, apa yang akan kita persembahkan kepada para cucu kita setelah lalijiwo ini tiada? Dengan apa kita dapat memikat hati mereka? Magnet apa yang sanggup kita lekatkan agar mereka pulang?”

Dia menatapku seraya mengusap air mata.

WINA BOJONEGORO | Semambung, 1 Agustus 2019
Lalijiwo ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Catatan

  • Sepasaran = sepekan, biasa digunakan untuk istilah kelahiran bayi atau pengantin
  • Ngundhuh mantu = resepsi pernikahan dengan keluarga mempelai pria sebagai tuan rumah
  • Pentil = buah yang masih sangat kecil
  • Ngijon = membeli di depan dengan harga sangat murah
  • Klangenan = kesayangan
  • Tetenger = prasasti/penanda
  • Njawani = selaiknya Jawa
  • Mbanyol = melucu
  • Banyu leri = air cucian beras