Cerpen

Pengakuan Rusmini

Pengakuan Rusmini

Kesendirian seringkali lebih mematikan dari sebilah belati. Caranya membunuh begitu perlahan, terkadang menyerupai kenikmatan. Kesendirian tidak membunuh tubuh, melainkan jiwa. Lihatlah Nyonya Rusmini. Ia terlalu terpukau pada lukisan tangannya di tembok kamar itu, hingga sering lalai pada tubuhnya. Kenangan demi kenangan ia sesapi dan cumbui seperti cerutu di bibir lelaki dalam lukisan itu. Kurasa, Nyonya Rusmini bukan kehilangan kecantikan fisiknya. Ia kehilangan sebagian jiwanya. Terbunuh perlahan bukan oleh belati, namun kesendirian itu.

Telah lebih dari satu dasa warsa kulalui hidupku di rumah besar ini. Rumah di atas bukit kecil di wilayah Tegal Alang. Tepatnya di sebelah kiri jalan menuju Kintamani. Tidak di tepi jalan raya, melainkan di antara sawah dan terasering. Tak seperti rumah di sekitarnya yang tetap tradisional melebar, rumah bercat putih ini berlantai dua, bergaya kolonial. Seperti sebuah kesendirian yang telah dirancang sejak mula, rumah ini sangat tidak menyatu dengan lingkungannya.

Telah kulewati masa-masa saat perempuan itu belum serapuh sekarang. Seingatku, ia masih rajin mengenakan gincu dan berbedak di pagi hari. Dipungutinya sampah daun kering halaman, lalu dibakarnya dalam lubang di belakang rumah, tempat di mana ia sering melakukan olah raga ringan saat matahari seperempat cahaya. Sesekali ia duduk melukis mawar atau teratai yang tumbuh riang di kolam kecil di taman belakang, tempat favorit Nyonya Rusmini ketika menghabiskan waktu pagi dan sore hari. Aku tahu mengapa. Dengan duduk di kursi taman yang terbuat dari kayu ebony itu, ia dapat menatap pemandangan desa Tegal Alang dengan leluasa. Pada bagian terasering di sebelah kiri dan pada rerumpun nyiur di sebelah kanan. Lalu sungai kecil mengalir tenang namun gemercik, tempat penduduk desa mandi dan mencuci pakaian, meskipun rumah mereka telah memiliki sumur.

Lelaki bertopi bowler sering bertandang ke rumah ini. Meskipun tak muda, aku melihat Nyonya Rusmini masih memiliki kehidupan. Matanya masih menitikkan cahaya. Ialah ketika mereka menikmati teh jahe berdua di kursi kayu ebony itu. Nyonya Rusmini melukis, lelaki itu memetik gitar, lamat-lamat, sambil sesekali bersenandung. Terkadang mereka memainkan musik dari tape recorder tua, lalu menari bersama.

“Mam, tinggallah bersama kami, salah satu di antara kami, atau bergiliran dari kota ke kota.” Kata anak bungsunya, Adelia. Nyonya Rusmini mendekat ke arahku, seperti biasa, hendak membisikkan kata-kata.

“Mon, kau dengar apa kata mereka?” Aku hanya menatap matanya yang kelabu, namun mencatat sejuta kemasan masa lalu. Mata yang selalu menghindar saat ingin kutelusuri kisahnya.

“Aku akan ditinggalkan sendirian di rumah mereka, sementara mereka bekerja hingga malam. Para pembantu yang menemaniku lebih sibuk dengan hapenya. Cucu-cucuku hanya datang dan pergi mencium pipi, lalu masuk kamar masing-masing, menutup telinga mereka dengan alat musik.”

Wajahnya rata, tanpa warna.

“Anak pertamaku Adonies, istrinya mengerikan. Dia perempuan yang rajin ke salon, berbicara nyinyir, mengomentari apa saja. Telingaku tersiksa. Tapi Adonies menyukainya. Zaman sekarang kita tak bisa memilih menantu.”

Mata Nyonya Rusmini berkaca-kaca.

“Sementara Arlina, tak mungkin aku bersamanya. Di negeri suaminya kita tak boleh datang pergi sesuka hati, berkunjung pun harus dengan persetujuan sebelumnya. Lagipula, bule-bule itu lebih suka menampung orangtua di panti jompo.”

Nyonya Rusmini mengusap ujung matanya dengan selembar tisyu.

“Bahkan Adelia, anak bungsu yang menyusu dua tahun setengah, jauh lebih banyak dibanding kakak-kakaknya. Ia selalu mengajakku bersamanya, tetapi apa yang diberikan? Ia selalu pulang lebih dari jam sembilan malam. Saat itu aku sudah terlalu mengantuk untuk bercakap, Mon. Aku sering mengantuk sekarang, obat-obat yang katanya menjaga kebugaranku itu mengacaukan jam tidurku.”

Kesepian memang lebih tajam dari sebilah belati. Lihatlah Nyonya Rusmini. Pada kulitnya yang keriput terdapat bintik-bintik hitam akibat kekurangan matahari. Hal mana sekarang tak lagi dilakukan, sejak ia melukis lelaki bertopi bowler yang menggigit cerutu. Dulu, ia bersama lelaki itu sering berlama-lama di kursi taman. Mereka bermandikan cahaya matahari, sembari menikmati teh jahe. Tertawa, bahkan sesekali mereka menari bersama. Tari tango yang memukau. Saat menari mereka seperti pangeran dan putri dalam dongeng. Saling menatap. Bercakap dengan mata.

Tetapi kebahagiaan sering pergi tanpa alasan. Justru ketika Adonies datang ke rumah besar ini dan memergoki mereka tengah menari. Kemarahan seperti api membakar rumah kardus dengan lahap. Kalimat-kalimat sarkas terlontar menggelegar. Kebahagiaan dengan singkat mengakhiri perannya. Lelaki bertopi bowler yang menggigit cerutu itu pergi. Nyonya Rusmini menangis di kamarnya. Adonies mengetuk pintu, memanggil-manggil, dengan wajah memerah memendam amarah.

“Mami tidak malu pada tetangga? Please! Usir laki-laki itu dari sini Mam dan jangan boleh kembali.”

Saat itu, pintu kamar tiba-tiba terkuak. Nyonya Rusmini dengan mata basah menggertakkan giginya, dan mendesis:

“Asal kamu tahu, Adonies! Dialah ayah kandungmu. Ayah kandung kalian.!” Pintu kamar terbanting lagi. Lebih keras. Lebih mematikan. Adonies berdiri kaku. Membeku. Beberapa menit ia masih disitu. Sejak hari pengakuan dosa itu, lelaki bertopi bowler yang menggigit cerutu lenyap. Nyonya Rusmini mulai melukis di kamarnya, menghabiskan sisa waktu, mengikis kesendirian. Dan ketiga anak-anak yang telah tumbuh menjadi keluarga baru itu tak lagi bertandang.

Suatu hari, Nyonya Rusmini duduk di teras depan. Sendirian. Ia merajut. Selama ini aku tak pernah melihatnya merajut. Benang-benang besar dalam gulungan itu dirajutnya menjadi sebuah topi anak-anak. Warnanya menyerupai pelangi.

“Mon, minggu depan Atalia genap lima tahun. Aku akan menghadiahkan ini untuknya. Dia pasti secantik ibunya saat usia yang sama.” Kemudian ia berhenti merajut. Matanya yang telah berubah abu-abu menerawang.

“Aku tidak tahu apa jadinya jika kau tak ada bersamaku, Mon. Mereka melupakanku, justru ketika aku berusaha jujur. Benar kata orang-orang bijak itu. Diam adalah emas. Terkadang jujur justru lebih menyakitkan.” Nyonya Rusmini meletakkan rajutan di pangkuannya, lalu menatapku seperti memohon perlindungan.

“Dengarkanlah aku, Mon. Di hadapanmu sekarang akan kulepaskan sebuah rahasia. Rahasia besar kami, yang kami pikul seumur hidup.”

Nyonya Rusmini, Nyonya Rusmini.

Aku telah mengenalnya sepuluh tahun belakangan ini. Di mataku, tak ada rahasia dapat tersimpan. Seluruh kejadian di rumah ini, apa yang terjadi di luar dan apa yang direncanakan, semua kurekam dengan baik. Tapi rahasia seumur hidup?

“Suamiku mandul…” Bisik Nyonya Rusmini dalam suara serak tertahan, “Sementara kami sangat ingin memiliki keturunan. Lagipula, kami harus punya anak laki-laki. Warisan dan segala tetek-bengeknya hanya bisa diturunkan pada anak lelaki. Kemudian, entah dari mana datangnya ide itu. Kami menyewa lelaki yang kami temukan di bar tengah kota. Sosok tampan dengan fisik sempurna dan pandai bermain musik. Kami ingin anak-anak yang rupawan, pandai bermain musik atau melukis seperti aku. Ia pun menjadi suami rahasia bagiku. Tapi akhirnya, kami saling jatuh cinta. Tiga anak, Mon. Suamiku hanya berkata: rahasiakan ini dari anak-anak kita.”

Lahar yang jebol itu menguras emosinya. Pada saat itu ia terlihat lebih tua dari usianya yang 67 tahun. Saat tangisnya reda, Nyonya Rusmini kembali merajut. Kali ini kecepatannya lebih rendah. Ia seolah sedang menyeimbangkan emosi dan gerak ritmis di tangannya.

“Mereka adalah dua lelaki yang kucintai, Mon. Tak bolehkah perempuan jatuh cinta pada lebih dari satu lelaki? Dua orang itu memiliki hal-hal berlainan, saling melengkapi. Memiliki keduanya seakan memiliki satu nyawa dalam bentuk sangat sempurna. Hidupku sempurna. Bahkan, saat suamiku meninggal, kekasihkulah yang memanggulnya ke kubur, ia pula yang menyiapkan upacara pembakarannya.”

Untuk pertama kalinya, kulihat air mata yang begitu banyak mengalir dari sepasang matanya yang renta. Kurebahkan tubuhku dalam pangkuannya. Seperti itulah biasanya Nyonya Rusmini akan melepaskan gelisah. Dengan memelukku.

“Tapi lihatlah Mon, sekarang apa yang terjadi pada anak-anak yang kami dambakan itu. Mereka kami inginkan begitu rupa hingga kami terseret pada jalan terlarang. Sekarang mereka menghilang, seperti tak pernah ada. Seberapa kuatnya kami menginginkannya di dunia ini, mereka toh akhirnya memiliki hidupnya sendiri. Bahkan mereka seperti lupa pernah terlahir dari rahimku.”

Kemudian senyap. Nyonya Rusmini terpaku menatap jalan raya Tegal Alang yang lengang di kejauhan. Selengang suasana rumah besar ini beberapa tahun belakangan, kecuali saat kehadiran lelaki bertopi bowler.

“Sudah berapa lama mereka tak berkunjung kemari, Mon?” Aku berusaha mengingat sebaik mungkin waktu itu, ketika Adonies membeku di depan pintu kamar Nyonya Rusmini.

“Tiga tahun, Mon. Nyaris tiga tahun. Kekasihku tak pernah lagi datang, Adonies telah mencercanya. Ia sangat terluka. Luka seorang lelaki yang dicaci anak kandungnya. Bisakah kau rasakan? Maka ia memilih pergi.”

Wajah Nyonya Rusmini mengerut makin dalam. Betapa kesedihan dan kesepian saling bekerja sama memagut kecantikan dan kebugaran tubuh, lebih giras dari sepatutnya. Aku hanya dapat menatapnya, memberikan waktu untuk melahirkan rahasia-rahasia yang selama ini membebani hidupnya. Hingga seminggu kemudian. Topi rajut warna pelangi untuk Atalia telah siap. Topi warna pelangi itu diletakkan dalam box mika disertai tulisan khas zaman dulu, huruf latin miring rapi jali.

Hingga hari yang ditunggu tiba, tak seorangpun datang ke rumah ini. Nyonya Rusmini pun tak juga membuka pintu kamarnya. Aku dan anak-anakku mulai cemas. Kami yang telah menjadi bagian dari rumah besar ini bertahun-tahun, merasakan sesuatu yang tak biasa.

Kecemasan memuncak ketika hari kedua Nyonya Rusmini tak juga keluar kamar. Ini bukan kebiasaannya. Sesuatu pasti telah terjadi. Selera makan kami hilang, dan kecemasan telah merasuki kepala sejak fajar merekah. Saat matahari telah menguasai hari, di antara kepanikan
dan gelisah yang saling melengkapi, kami memutuskan mendobrak pintu kamar Nyonya Rusmini.

Tubuh ringkih itu tergeletak di atas kasurnya. Dingin. Kaku. Kami hanya mampu meraung putus asa. Berteriak. Berusaha mengeluarkan suara paling nyaring di telinganya, agar Nyonya Rusmini terbangun. Tetapi tubuh itu membeku, kaku. Seperti ingin membekukan sejarah kelam dalam dunianya, entah dunia yang keberapa. Hingga sesuatu menyita perhatian kami. Lukisan lelaki bertopi bowler menggigit cerutu tak ada lagi di tembok kamar.

Meme, Miyu dan Miko melesat keluar dari kamar. Mereka mengejar sesuatu dan mengeong bersahut-sahutan. Tiba-tiba mereka mengeluarkan suara yang lain, suara asing, serupa desis ketakutan. Bulu-bulu leher mereka berdiri. Dari dalam kamar, melalui pintu kamar yang terbuka, kulihat sepasang tubuh renta menari. Ya, mereka menari tango. Lelaki bertopi bowler menggigit cerutu, dan Nyonya Rusmini. Wajah mereka bersemu merah, serupa darah. Wajah yang hidup oleh bahagia. Sementara jasad yang kaku ini tetap membeku di sampingku.

Wina Bojonegoro, punya nama lahir Endang Winarti, pendiri dan penggagas Kedai Kreasi, perpustakaan berbasis komunitas literasi dan seni di Surabaya. Kumpulan cerpen ”Korsakov ke Kota Kenangan” (2016), novel ”Sekotak Coklat untuk Ara” (2016), dan kumpulan cerpen ”Negeri Atas Angin” (2013).

Ilustrasi: Karya Emmy Go
Cerpen telah diterbitkan di Harian Kompas pada 20 Maret 2016

Post Comment