Tiba-tiba kita sudah berada di bulan April tahun 2025. Pernah nggak sih Anda mengomel entah pada siapa : kok tiba-tiba udah lebaran aja? Kok tiba-tiba udah akhir bulan?
Kita semua pernah terjebak dalam rutinitas yang padat tapi hampa, penuh agenda tapi minim makna. Kita mengejar waktu, seolah 24 jam tak pernah cukup. Kita sibuk hidup, tapi lupa menikmati hidup itu sendiri. Di zaman yang serba cepat, serba sibuk, dan serba dituntut “produktif,” banyak dari kita merasa kehilangan makna hidup.
Saya pernah ada di posisi itu. Pasca subuh sudah meretas jalan, berdandan maksimal, menggunakan pakaian sebaik mungkin, dan bekerja hingga magrib tiba barulah bisa pulang dan bertemu anak. Selanjutnya menemani mereka makan lalu belajar, tak ada waktu buat diri sendiri. Bahkan di hari Minggu, waktu habis buat menyenangkan anak. Dalam keadaan seperti itu, kita perlu bernapas dengan kesadaran penuh. Mengambil jeda. Lalu memikirkan tentang slow living.
Memaknai Slow Living
Makna harfiahnya memang hidup pelan. Tetapi Slow living bukan tentang bermalas-malasan. Ini adalah filosofi hidup yang mengajak kita untuk lebih sadar, lebih pelan, dan lebih bermakna. Kita diajak memperlambat langkah agar bisa benar-benar hadir dalam kehidupan—menyadari rasa makanan yang kita kunyah, menikmati percakapan tanpa distraksi, mencium wangi tanah setelah hujan, menanam dan merawat tanpa terburu panen.
Carl Honoré, penulis buku In Praise of Slow, pernah mengatakan:
“Slow living is about quality over quantity, real over rushed, mindful over mechanical.”
Carl Honoré adalah seorang penulis dan jurnalis asal Kanada yang terkenal dengan karyanya yang mengusung konsep slow living—gaya hidup yang lebih lambat, lebih sadar, dan lebih penuh makna. Bukunya yang paling terkenal adalah In Praise of Slow (2004), di mana ia mengkritisi budaya hidup cepat dan produktivitas yang berlebihan di masyarakat modern. Honoré mengajak orang untuk menghargai waktu, menikmati proses, dan kembali ke ritme hidup yang lebih alami.
Selain itu, Honoré juga berbicara tentang bagaimana memperlambat tempo kehidupan bisa berdampak positif pada kesehatan fisik dan mental, serta meningkatkan kualitas hubungan sosial. Dia dikenal sebagai salah satu suara utama dalam gerakan global Slow Movement, yang bertujuan mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia.
Lalu kapan kita sebaiknya memulai slow living?
Kalau menurut saya, slow living bisa dimulai ketika sudah merasa cukup dengan apa yang kita miliki : karir, harta, pencapaian-pencapaian lain. Toh, dengan menerapkan slow living kita tetap bisa berkarya dari mana saja.
Ketika kita mulai merasakan kelelahan emosional dan eksistensial, itulah saatnya kita menerapkan slow living. Ketika ambisi mulai digantikan kebutuhan akan ketenangan. Ketika kita mulai bertanya: Untuk siapa aku bekerja sekeras ini? Apa sebenarnya yang kucari?
Namun jika Anda sudah memasuki usia 40, 50, bahkan masa pensiun—justru inilah waktu emasnya. Inilah masa untuk menata ulang hidup, bukan hanya untuk istirahat, tapi juga untuk kembali berdaya. Hidup perlahan bukan berarti berhenti tumbuh—justru dari tanah yang tenanglah akar bisa menembus lebih dalam.
Pengalaman Pribadi: Memilih Hidup Pelan di Omah Padma
Saya sendiri memulai perjalanan slow living pada tahun 2017, setelah melewati masa kerja yang penuh target dan ritme kota yang melelahkan. Keputusan itu membawa saya pindah ke sebuah lahan seluas 3.000 meter persegi di desa kecil, tak jauh dari Kebun Raya Purwodadi, di kaki Gunung Arjuno.
Tempat itu kini dikenal sebagai Omah Padma—sebuah rumah, sekaligus ruang tumbuh. Di sinilah saya belajar menanam, mendengar suara jangkrik malam, membuat tumpeng untuk syukuran kecil, dan membangun komunitas lokal dengan semangat saling menguatkan. Ketika tinggal di kota, arisan 500K adalah sesuatu yang biasa, di Omah Padma hanya butuh 20K untuk mengumpulkan para perempuan dengan dalih arisan.
Di sini pula saya mulai memahami, bahwa pensiun bukan akhir, tapi bisa menjadi hidup kedua. Hidup yang tak lagi digerakkan oleh ketakutan, tapi oleh makna. Hidup yang lebih lambat, tapi lebih penuh. Di tengah suara air berderak dan desau angin yang turun dari lereng gunung, saya menyadari bahwa uang lima puluh ribu di sini lebih berharga daripada uang sejuta untuk hidup di kota. Di dusun ini, datang pada sebuah hajatan dengan uang selembar lima puluh masih dipuja dan uang selembar itu masih bisa digunakan belanja selama dua hari.
Menanam sayur, memaneh buah dari kebun sendiri, menikmati harum padi di sawah, serta memandang burung bercengkerama di atas pohon durian di halaman adalah surga yang tak bisa saya beli di kota. Bukan melemah, slow living saya justru memberi saya banyak makna. Di sinilah saya mendengar banyak suara perempuan yang menjadi tiang keluarga, anak yang tak pernah ditanya tadi di sekolah belajar apa, dan bagaimana fatherless benar terjadi di lingkungan saya. Lalu, sambil menikmati kopi pagi saya memikirkan : apa yang bisa saya lakukan?
Pensiun Bukan Menepi, Tapi Menemukan Diri
Slow living di masa pensiun bukan sekadar soal kebun dan kopi pagi. Ia adalah soal kebebasan memilih ritme hidup sendiri. Tentang kembali terhubung dengan alam, komunitas, dan batin kita yang dulu terabaikan.
Dengan hidup perlahan, kita bisa lebih hadir untuk orang-orang terdekat, lebih peduli terhadap lingkungan, dan lebih jujur pada diri sendiri. Kita bisa memilih pekerjaan yang bermakna, bukan sekadar menghasilkan. Kita bisa menyusun ulang prioritas, menyusun ulang hidup. Jika ingin menabung pahala lebih banyak, memilih hidup di pedesaan akan sangat tepat. Membangun rumah baca, menolong orang sakit yang tidak tahu harus bagaimana menangani sakitnya, menyadarkan penduduk tentang pentingya pendidikan adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Hidup cepat mungkin membuat kita merasa “sibuk,” tapi belum tentu merasa “hidup.” Maka cobalah pelan-pelan. Mungkin awalnya tak mudah, karena kita terbiasa dikejar waktu. Tapi percayalah—dalam pelan ada kedalaman. Dalam kedalaman, ada keutuhan.
Dan dari sana, kita bisa membangun hidup yang tak hanya panjang umur, tapi juga panjang makna. Ingatlah, hidup yang pelan membisikkan banyak hal yang tak terdengar saat kita berlari. (*)
Wina Bojonegoro




