Bagi pecinta sastra nama Wina Bojonegoro sudahlah akrab di kuping. Sebagai penulis, Wina Bojonegoro kini disibukkan dengan beberapa aktivitas terbarunya. Aktivitas ini dilakukan di rumah pribadinya yang juga difungsikan sebagai galeri.
Letaknya hanya lima kilometer dari kebun raya Purwodadi. Namanya ‘Omah Padma’, berlokasi di Dusun Semambung, Capang, Purwodadi, Pasuruan. Terhitung sejak 2017, Wina Bojonegoro dan suaminya, perupa Yoes Wibowo tinggal di sana.
Kepindahan Wina Bojonegoro ini bukanlah tanpa alasan. Dia bosan dengan hingar bingar Kota Surabaya. Wina Bojonegoro ingin merasakan suasa baru. Wina Bojonegoro dan Yoes Wibowo lalu memutuskan hidup di daerah pedesaan yang tenang dan asri. Impian keduanya simpel, tinggal di desa dengan area perkebunan yang luas. Agar suasana lebih asyik Wina Bojonegoro berencana memelihara ayam.
Bukan Wina Bojonegoro jika hanya berdiam diri di rumah. Pertama kali meginjakkan kaki di bumi Semambung Wina lantas berkunjung ke rumah warga. Sebagai makhluk sosial, Wina Bojonegoro menginginkan terjalin kedekatan dengan tetangganya. Tentunya agar tercipta kehangatan dan keakraban di antara mereka.
Dari kunjungannya itu Wina Bojonegoro tertegun. Berbekal riset kecil-kecilan dia mengaku prihatin. Penghasilan warga Semambung jauh dari kata cukup. Tak heran, tingkat pendidikan penduduk terbilang rendah.
Menurut Wina Bojonegoro sebagian besar yang laki-laki bekerja sebagai kuli bangunan serabutan. Ada juga yang jadi buruh pabrik. Sedangkan, perempuannya menjadi ibu rumah tangga. Mirisnya mereka tidak memiliki keterampilan apa pun.
Hal ini diperparah dengan pola pikir warga. Mereka mengentengkan pendidikan. Bagi mereka bekerja di pabrik lebih penting dibandingkan mengenyam bangku kuliah. Sebab, hasilnya sudah jelas. Bekerja menghasilkan uang yang bisa dipakai buat makan.
Pola pikir tersebut pun tertanam ke benak anak-anak mereka. Cita-cita tertingginya hanyalah menjadi seorang buruh pabrik.
“Pas ke sini niatnya dari awal memang ingin menyatu dengan masyarakat. Waktu tahu betapa rendahnya kondisi ekonomi dan pendidikan warga, saya memutar otak. Anak-anak di sini aset masa depan, jadi harus diperhatikan,” kata Wina Bojonegoro saat dihubungi lewat ponsel.
Mengetahui kondisi tersebut Wina Bojonegoro lantas tergerak. Ada panggilan hati baginya menjadi laksana sebuah mercusuar. Di mana mercusuar ini berperan penting sebagai penunjuk arah.
Wina Bojonegoro lalu tercetus ide membuka berbagai kursus dan keterampilan gratis bagi warga Semambung. Wina didukung sang suami dan beberapa volunteer. Kursus yang tersedia mulai dari membuat tempe, pastri, dan batik ecoprint. Hingga mengolah kain perca, belajar bahasa Inggris dan melukis.
Tak sampai di situ, Wina Bojonegoro pun menciptakan program Jelajah Semambung. Program ini berbayar. Siapa saja yang berminat bisa menikmati kegiatan menyusuri sungai terdekat. Yang menjadi pemandunya warga sekitar.
“Adanya kursus agar warga punya keterampilan. Sehingga perekonomiannya bisa berkembang. Intinya memberdayakan warga agar bisa maju,” kata Wina Bojonegoro.
Ke depannya Wina Bojonegoro berencana mengizinkan lahannya yang seluas 2000 meter dijadikan camping ground area. Nantinya warga sekitar diharuskan berjualan sebagai tambahan pemasukan mereka.
Sementara, penghasilan yang minim membuat warga mangonsumsi makanan sederhana. Setiap harinya mereka menghabiskan kurang dari Rp 30.000 untuk lauk-pauk. Adalah sesuatu yang mewah dan membahagiakan kala ada hajatan dengan hidangan lauk daging sapi. Bahkan, anak kecil di sana sampai menjerit kegirangan.
Maklum, pendapatan penduduk tak mampu membeli daging. Menu utama mereka tahu dan tempe. Penjual sayur pun hanya menjual potongan ayam. Kurang dari empat bungkus kecil. Dari sini Wina Bojonegoro mendapat pelajaran berharga. Wina lebih bersyukur dan berhemat dalam membelanjakan hartanya.
“Saya mau beli baju itu mikir-mikir. Apalagi makan di restoran konsep all you can eat. Melihat kondisi sekitar saya nggak ingin jumawa. Mereka saja belanja sehari-hari cuma 30 ribu rupiah. Saya harus lebih bersyukur lagi,” kata Wina Bojonegoro dengan mengiba.
Lelang Lukisan untuk Parsel Lebaran
Selain memberikan kursus keterampilan, saat ramadhan Wina Bojonegoro membagikan parsel lebaran. Ini adalah kali kedua Wina Bojonegoro berbagi kehangatan di bulan suci. Berbeda dengan tahun lalu, penggalangan dana diperoleh dari lelang lukisan.
Lukisan ini hasil dari tangan dingin Yoes Wibowo. Gambarnya bermacam-macam. Ada buah, ikan, sayur, sambal, gelas, dan lain-lain. Ukuran lukisan tersebut 30×40 centimeter. Lukisan ini diunggah di akun sosial media Wina dan Yoes. Lukisan dilelang mulai harga Rp 500.000.
“Saya nggak ingin cuma dapat uang saja, kali ini harus dengan melelang lukisan. Gambarnya makanan karena targetnya perempuan. Terus lukisannya biar bisa dipajang di ruang makan. Saya upload di Facebook dan Instagram suami saya, paling besar lelangnya Rp1,5 juta,” beber Wina Bojonegoro.
Ide berbagi parsel ini lahir setelah Wina Bojonegoro melihat dampak pagebluk. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Dia kemudian menggalang dana dengan mengontak teman-temannya. Beruntung, Wina Bojonegoro mendapat sambutan positif.
Terjual sebanyak 18 lukisan dengan meraup total Rp15 juta. Dari uang yang terkumpul terbagi menjadi 125 bingkisan. Agar yang memperoleh tepat sasaran, Wina Bojonegoro bekerja sama dengan kepala dusun setempat.
“Galang dana sejak 30 April sampai 5 Mei 2021. Rencana diberikan ke janda dan lansia. Pokoknya harus sesuai sasaran,” tutup perempuan asli Bojonegoro itu.