Bahwa Arjuna adalah lelaki tampan yang pandai memainkan panah, wanginya memabukkan perempuan dari kalangan manusia, jin bahkan kalangan Dewi di kahyangan, ya, semua orang tahu. Para penikmat wayang tahu. Tetapi Arjuna patah hati dan hancur harga dirinya karena kekalahan moral dari Ekalaya, mungkin tidak banyak orang tahu. Bahkan tak banyak yang tahu bahwa Arjuna yang dikenal Thukmis alias playboy itu pernah menolak asmara seorang Dewi di Kahyangan, hingga ia dikutuk menjadi banci. I pun menolak ajakan Banowati untuk berbuah syur di malam midodareni , mungkin juga tak banyak orang tahu. Sisi lain yang selama ini tak pernah ditangkap oleh pembaca kisah wayang, atau bahkan penonton setia wayang, disampaikan Nanang Hape dalam lakon Arjuna dan Penakluknya.
Pertunjukan selama 90 menit di Wisma Jerman ( 6 Oktober 2015) dikemas dalam paket bertajuk do.ngeng.mi.fa.sol, merupakan kolaborasi antara anak-anak muda yang tergabung dalam Best Friend Project: Vembriona dan kawan-kawan, dengan Nanang Hape yang biasa kita kenal pertunjukannya dalam Wayang urban. Dalam lakon Arjuna dan penakluknya, penonton yang rata-rata anak muda penikmat musik, diajak berkelana menyusuri jejak Arjuna sebagai manusia.
do.ngeng.mi.fa.sol, mengajak penonton untuk memahami falsafah wayang dengan cara lebih mudah dan menyenangkan. Diatas panggung minimalis, diiringi bukan oleh gamelan melainkan piano, bass, gitar dan drum. Adegan dibuka dengan penjelasan sang dalang, Nanang Hape, terhadap falsafah Gunungan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Sehingga banyak diantara penonton mengeluarkan kata ooooo karena baru ‘ngeh’ sekarang apa arti gunungan dan perannya sebagai apa dalam sebuah pentas wayang. Misalnya, kenapa dalam gunungan ada gambar reranting. Artinya, itulah jalan kehidupan yang memungkinkan manusia memilih jalan masing-masing. Namun akhirnya, kita akan bertemu di ujung, atau di puncak Gunungan tersebut, yaitu tujuan akhir kehidupan, Nirwarna.
Penghargaan UNESCO
Wayang kulit, adalah kesenian tradisional Jawa yang dari tahun ke tahun mengalami pergeseran peran dalam dunia hiburan di tengah-tengah masyarakat modern. Agak ironis memang, disaat UNESCO telah memberikan penghargaan khusus Wayang Kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity, di negeri sendiri wayang kulit justru kehilangan peran sebagai media pendidikan kultur dan budi pekerti. Mungkin tidak banyak masyarakat Indonesia yang tahu bahwa wayang kulit sejak tahun 2003 telah diakui UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga. Kenyataan ini semakin menambah jumlah kekhawatiran para pemerhati budaya, orang-orang yang peduli pada kelestarian seni dan tradisi lokal Indonesia.
Salah satu tokoh yang cemas itu adalah nanang Hape. Berawal dari kecemasan akan hilangnya seni budaya yang luhur, Nanang berusaha menciptakan cara yang lebih menarik untuk memainkan wayang, tetapi tidak kehilangan esensi. Nanang menyadari bahwa tidak mudah menikmati pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di era saat ini. Selain kendala waktu, juga kendala bahasa. Seberapa banyak masyarakat Jawa yang masih paham bahasa wayang? Mungkin hanya tersisa beberapa gelintir generasi lama yang masih eksis. Itupun pasti tak ada waktu untuk menyimak pertunjukan semalam suntuk.
Menyadari kendala-kendala tersebut, Nanang mencoba mengemas bentuk lain dari sebuah pertunjukan wayang. Selain wayang Urban yang selama ini banyak di kenal oleh masyarakat hiburan, Nanang mencoba mengemas Wayang dalam paket musik jazz dan blues. Wayang yang pada awalnya terkesan tua dan rumit, malam itu mendadak riang, penuh kegembiraan dan mendidik. Di tangan Nanang Hape, wayang menjadi sebuah arena ekspresi seni budaya sekaligus media edukasi. Tidak seperti dalam pertunjukan wayang yang terikat lakon, semisal: Abimanyu Gugur, Srikandi Edan, Petruk dadi Ratu, dsb. Tidak, do.ngeng.mi.fa.sol di kemas secara berbeda baik lakon, musik pengiring, maupun metode perdalangan. Bentuk kolaborasi kontemporer yang memungkinkan anak-anak muda ‘enjoy’ dan tercerahkan.
Dalam penyampaian yang berganti-ganti antara bahasa pedalangan dan bahasa Indonesia, Nanang menjelaskan berbagai falsafah Jawa serta beberapa keragaman seni pedalangan. Misal, beda penggunaan kecrek dari Jogja, Solo dan Jawa Timur. Begitu pula nilai-nilai luhur dan kesatria dalam tokoh-tokoh wayang seperti Ekalaya, Salyopati, Bima, Krisna, dan Arjuna. Sehingga penonton menyaksikan pertunjukan bukan sekedar mengikuti jalan cerita (kalau itu bisa dicari di google) tetapi juga menyerap ajaran luhur yang tersembunyi dalam karakter tokoh sekaligus budi pekerti yang menyertainya.
Bentuk-bentuk penyegaran dalam penyajian budaya tradisi semacam ini, kiranya perlu mendapat apresiasi dari kalangan pemerintah. Sebab bertahan dalam bentuk orisinal mungkin saja tidak sesuai dengan kondisi dan ritme masyarakat saat ini, maka budaya seharusnya mengikuti gerak masyarakat, seni tradisi tetap dihidupkan dalam bentuk yang mudah diterima, lebih kekinian. Jika tidak, suatu saat nanti, kita bakal kehilangan akar budaya dan pernak pernik tradisi Nusantara. Kita tentu tak ingin lagu-lagu daerah di patenkan sebagai produk tetangga. Kita mestinya juga malu, bila harus belajar bahasa Jawa harus ke negara lain.
Do.ngeng.mi.fa.sol adalah sebuah contoh kecil yang mungkin bisa dikembangkan lebih luas untuk menarik minat anak muda belajar mencintai sejarah, budaya dan tradisi leluhurnya. Seperti diungkapkan Mamuk Ismuntoro, fotografer Surabaya : dalam gelaran Do Ngeng Me Fa Sol, Bahasa tak lagi menjadi alasan untuk sulit menyampaikan cerita-cerita rakyat. Maka lewat tutur, dialog dan musik, pesan-pesan kehidupan rasanya mudah dikunyah dan tak lagi berjarak.
Wina Bojonegoro
(Penulis Fiksi yang mencintai tradisi Jawa )