Cerpen

Lelaki Peri

Lelaki Peri

Berita tentang apa sanggup mendidihkan darahmu?

“Musim semi dan festival bunga tulip adalah dua bagian paling diburu di seluruh Turki. Kau harus tahu bahwa Tulip itu berasal dari Turki, bukan Belanda.” Sejenak  kubiarkan tubuhku digenggam bulan Desember : beku.

“Berkunjunglah ke Istambul.” Kalimat itu bagaikan gelombang tsunami yang menghajar seluruh peradaban. Sedikit,  namun telak.

Sam,  Aku telah menunggu kabar tentangmu begitu lama. Entah sudah berapa kali musim semi, berapa kali festival bunga tulip terlampaui.

“Sudah kau terima email itu?”

“Ya, tapi…”

 “Anggap saja, kau memenangkan lotere.”

“Ya. Hanya saja…”

“Aku telah menyewa properti tak jauh dari Masjid Biru, hanya beberapa ratus meter dari lapangan Sultan Ahmed. Dua kamarnya menghadap selat Bosphorus. Kau tak perlu mencemaskan cuaca,  ada pemanas  dimusim dingin, juga pendingin udara di musim panas. ”

Tentang musim, cukup bagiku menikmati  sihirmu, ratusan surel berisi hasil bidikanmu. Caramu itu berhasil menyemai mimpi pada dinding khayalku.

“Itu tiket pulang pergi sudah tertera atas namamu. Jadilah tamuku.”

“Kau baik sekali…” terasa datar namun aku menuliskannya dengan melunjak-lunjak.

“Itu hadiah buatmu. anggap saja traktiran gaji pertamaku di kampus ini. Kamu sudah tahu bahwa bahasa Indonesia mulai dijadikan kelas khusus di Turki?”

“Kudengar begitu…”

“Maukah kau menjadi dosen tamu disini?”

Sengaja atau tidak, terencana atau spontanitas, kau pintar membuat kejutan. Sejak dulu. Harus kuakui, ini fakta yang menyebalkan tentangmu. Empat tahun yang penuh dengan busa. Riuh selalu, namun tak ada muara yang menandakan kita akan menujunya. Tiba-tiba sekarang, kau menjanjikan dirimu sebagai tuan rumah selama aku berkunjung ke Turki, menyiapkan tiket pesawat round trip senilai delapan juta. Dan menawarkanku untuk menjadi dosen tamu pula.  Wow pangkat berapa harus kuterakan?

“Tugasmu hanyalah mendapatkan cuti. Selebihnya adalah urusanku.” Betapa manisnya kau Sam.

“Jika kau tertarik, dapat ditindaklanjuti soal untuk dosen tamu. Tidak lama kok, hanya tiga bulan.”

Seketika, perang di dadaku bergemuruh laksana pasukanberkuda dua bala tentara. Satu pihak berjuang atas namamu. Pihak lain   adalah amarah, ketika menyadari aku, perempuanmu, nyaris busuk menunggu di sudut  perpustakaan. Tidakkah kau berpikir bahwa pertemuan dua manusia diantara rak buku adalah hal paling romantis di dunia ? Matamu yang tajam dan alismu yang tebal, adalah daya. (*)

Sebuah siang di perpustakaan …

 “Hai, Namaku Sam.”  sebuah tangan terulur di mukaku. Mataku merebut wajahmu yang tersamar di keremangan cahaya jendela dan rak buku.

“Cantik tapi sombong.” Kau mendengus kesal saat aku tak menanggapai salam perkenalanmu yang norak.

“Kamu tak punya nama?” Kejarmu diantara upayaku melangkah pergi.

“Satu kata saja.” Desakmu. Aku menuju parkir motor, memasang helm, kau berdiri di ambang pintu perpustakaan.

“Nama!!” teriakmu.

Demi melihat wajahmu yang kesal dan penuh permohonan, maka sambil berlalu dengan motor kuteriakkan…

“Rosalia!!”

“Itu bus pariwisata!!”

Hey Tengik!. Ayahku memberi nama itu melalui puasa, kau dengan enteng mengatakan bus pariwisata. Ingin rasanya melempar sneaker ini ke arahmu.  Aku melaju sambil merapal doa: Tuhan, jauhkan aku dari lelaki tak beradab semacam dia. Lelaki rombeng yang gaduh hanya di kalengnya.

Beberapa hari kemudian…

“Rosalia!”

Refleks kepalaku berputar,  mataku menghisap sepasang mata menyembul dari balik terali pagar.

 “Bagaimana kau temukan alamatku?” Lelaki itu nyengir, lalu membuka pagar, masuk tanpa kupersilakan.

“Lelaki memiliki 1.001 cara untuk menemukan apa yang ingin dia temukan.”

Kemudian kau menjadi catatan penting pada perjalanan hidupku selanjutnya.

(*)

Hey, Sam…

Sekarang, aku dalam pesawat Turskish Air menujumu. Kau akan menjemputku dengan wajah barumu yang sedikit matang. Kita akan berjumpa di Atatürk Uluslararası Havalimanı, bandara utama negeri keduamu. Kita akan  menyelami kota sejarah yang penuh catatan darah dan air mata, perpaduan timur dan barat yang rupawan.

Kau akan menemaniku mengunjungi rumah sang Mevlana Rumi di Konya,  sembari melantunkan sebait doa di tepi nisannya yang bertaburan kaligrafi. Ini bulan April, festival tulip akan menghiasi kota kecil Konya dan kota-kota lain di seluruh wilayah Turky.

Jika cuaca bagus, kita akan mengendarai balon udara di Capadoccia. Seratus dollar pasti bukan masalah buatmu, dan kita mengakhirinya dengan menenggak anggur merah non alcohol. Inilah impian setiap pelancong dari seluruh dunia.  Jadilah guide yang baik saat aku  menjelajah reruntuhan Efesus, mencoba bagaimana rasanya duduk di kloset pembuangan umum yang berjajar secara massal tanpa sekat dan pelindung. Ah, tentu, kau juga  harus menemaniku mengelilingi selat Bosporus dengan kapal yang legendaris itu, dan menungguiku mengenakan baju tradisional Turki.

Hari penting itu menjadi sebuah debar berganda dan berpangkat. Aku berhasil melampaui antrian meliuk-liuk di terminal kedatangan Ataturk. Lalu pertanyaan dalam bahasa Turki, yang, baru kali ini kudengar dan petugas imigrasi tidak seluruhnya berbahasa Inggris. Setelah ujian pertama usai, ujian berikutnya adalah, menemuimu. Di barisan penjemput yang semuanya berjaket warna gelap, udara berkisar 10 celcius-  Aku menemukan seraut wajah khas yang tak mudah kuhapus dari ingatan.

Kau berlari

Menubrukku

Aku mengambil jarak

Mundur selangkah

Kuberi dia tempat untuk menjabat tanganmu.

Kau menatapnya terperangah, matamu melebar. Kau dan dia berjabatan.

Sam, 

Aku memang tidak datang sendirian. Tiga bulan lalu aku menjalani kehidupan baru sebagai isteri dari seorang lelaki. Bukan laki-laki hebat, hanya lelaki sederhana yang hidup dari kata-kata. Dirangkainya sebait puisi  nan gurih untuk melamarku, dan aku menyerah. Sementara kabarmu nihil. Setahun kau mengilang. Sementara aku bimbang antara menerimanya, atau menunggumu?

Bolehkah kami berbulan madu ke Turki?  Ini  negeri impianku sejak Orhan Pamuk  dengan My Name is Red menjadi bacaanku belasan tahun lalu. Dan kau, Sam, adalah lelaki peri yang mewujudkan impianku.(*)

Ditayangkan di Harian Jawa Pos, 3 Februari 2019

Post Comment